Sabtu, 27 Agustus 2016

TELELOVE 58

PUTRI. 19


WANDA




Karena Tuhan selalu bersama prasangkamu

Seperti biasa, aku keluar kantor, berjalan ke arah yang ditunjukan Boy si android. Lalu aku akan melihat mobil penjemputku, sekaligus Boy di dalamnya. Benar-benar kejutan, pak Jan ada di dalam mobil, ‘menungguku’? Oh... oh... 
            Tapi melihat wajah dinginnya, dan senyum gamangnya, aku mengerti, dia sedang banyak pikiran. Seperti biasa, aku duduk di depan bersama si Boy, maksudku, tentu saja menjaga jarak dengan pak Jan,dan  agar kejadian tertidur di pundaknya tidak terulang lagi.
            Sepulang kantor, dengan kejutan seperti ini, kukira kami akan terlibat dalam pembicaraan hangat. Apalagi kami sudah tiga hari tak bertemu. Tapi melihat situasi dinginnya aku menahan kata-kataku. Berulang kali aku curi pandang lewat spion wajahnya. Dia sedang menatapku. Tanpa senyum.
            Oh... apa ada yang salah?
            Kejutan kedua adalah kami makan malam di sebuah resto. Jadi bisa kau bayangkan keadaanku ini. Kaget. Tapi juga cemas. Pak Jan  cuma bilang, ingin makan di sini. Titik.
            Aku pun menurut saja, sekalipun perutku tak berselera menyantap makanan itu. Tentu saja seleraku terganggu karena aku sedang  hamil, trismester pertama. Fase muntah, kentut, sendawa, diare datang tak menentu. Galau secara jiwa. Kacau secara biologis. Astagfirulloh... bukan maksudku ‘mengkritik’ desainNya...  itu karena aku seorang gadis, yang sulit menerima perubahan hormon di tubuhku, walau DIA sudah menciptakan segalanya sedetil-detilnya.
            Sepanjang acara makanpun pak Jan hanya diam. Makan, menatapku. Makan, menatapku, hingga aku benar-benar salah tingkah, lalu mati gaya.
 Kukira, dia akan melanjutkan ‘lamaran’nya itu. Mungkin Tuhan mendengar doaku, hingga topik yang belum aku siapkan ini terhindar.
            Sepanjang perjalanan pulangpun begitu.
            Lalu saat aku menemukan Wanda di kamarku, aku baru tahu jawabannya.
***
           
Muka Wanda penuh lebam, bahkan ada bekas jahitan darurat di pelipisnya.  Wanda meringis sakit, hingga aku bisa melihat, gigi palsunya bergoyang. Dia pasti baru bertarung habis-habisan. Kuhampiri dia dengan tergopoh, sementara pak Jan memilih untuk berdiri di ambang pintu kamar. Dia bersidekap santai, seolah ini bukan kejadian luar biasa.
            “Oh... apakah... apakah mereka menemukanmu... para mafia itu?” pasir di otakku memutar , berdesir gelisah. Para mafia baru saja berhasil masuk ke dalam apartemen bersistem keaman canggih?
            Dia menggeleng. “Kenapa kau tak cerita...”
            “Apa?” tanyaku cepat.
            “Maya. Bahwa dia pacarnya pak Jan bosmu itu.” Jawab Wanda di sela sesegukannya.
            “Haaaaaaa... sekarang senegeri ini semua  sudah tahu bahwa mereka sudah putus.” Glek! Kenapa ini menyangkut  topik infotainment?
            “Oh, dia tadi datang.”
            “Hah?maksudmu kak Maya?”
            “Kukira dia maling, aku memukulnya langsung, tapi malah dia meneriakku maling. Dia mengoyak baju yang kupakai sambil teriak histeris.”
            “Baju?” aku baru menyadari kalau Wanda mengenakan baju Maya yang disimpan di apartemen ini. Walau kini penampakannya seperti gaun compang camping karena sobek.
            “Aku... aku menemukan baju-baju indah. Aku ingin memakainya untuk menemui bosmu. Aku ingin memberi kesan....” Wanda melirik pak Jan.
            “Menemukannya?” jelas sekali aku tak percaya, aku hapal dengan tabiatnya. Karena beberapa kali aku menitipkan cucian ke loundry, dia bilang bajuku hilang di loundry, nyatanya beberapa kali aku pergoki dia memakai  baju-bajuku yang hilang!
            Jadi benar kekhawatiranku terjadi. Dasar maling.
            “Tentu saja dia kaget waktu aku pukul. Dan aku lebih kaget lagi karena ternyata yang kupukul seorang pesohor. Lalu dia mengeluarkan semua kata-kata yang tak kumengerti. Katanya ternyata dia salah menuduhmu, ternyata akulah selingkuhan bosmu.” Wanda melirik pak Jan lagi. Wajah lebamnya nyaris  menyamarkan kecantikannya.
            Yah! Pasti lebih pantas begitu, Wanda pasti tadi dalam riasan lengkap, riasan yang menyembunyikan fisik penanda ‘kere’nya. Aku masih bisa melihat sisa-sisa riasannya.
            Aku bisa membayangkan cantiknya Wanda,  dan bagaimana Maya terbakar api cemburu. Yup, Wanda lebih ‘masuk akal’ sebagai selingkuhan pak Jan dibanding aku.
            Astaga. Apa yang aku pikirkan?
            “Lalu, setelah aku mengerti, aku pasrah saja menjadi sasaran amarahnya. Saat itulah Boy datang dan mengamankanku. Boy memberi keterangan yang aku tak mengerti.”
            “Apa maksudmu?”
            “Lalu Maya mengambil semua baju-baju mahal itu. Dia  pergi dengan marah. Dia bilang akan menghancurkan hidup kami.”
            “Dia mengancam?”
            “Mungkinkah sehabis ini, akan ada tuntutan darinya? Apa aku akan tersangkut masalah hukum? Aku hanya memukulnya sekali, sedang dia membuat dahiku sobek, dan gigi palsuku hancur.”
            “Oh?” aku sama sekali tak memikirkannya ke arah sana.
            “Kalau aku sampai muncul di media gara-gara ini, itu artinya Ayah, dan preman-preman dari klinik itu akan  tahu tempatku...”
            Wanda tertunduk. Darah disudut bibirnya yang belum mengering menetes.
            Oh, Wanda yang malang! Aku tak tahan untuk tak memeluknya.  Dari pantulan cermin di kamar aku melihat pak Jan berdiri di pintu bersidekap menghela nafas. Pak Jan berbalik meninggalkan kami.
            “Bosmu orang yang baik. Apa benar dugaanku, bahwa kau dan dia memiliki hubungan istimewa? Seperti yang dituduhkan Maya?” bisik Wanda.
            “Oh? Bagaimana mungkin?” glek! Tuhan ini bukan teka-teki yang harus aku tanyakan pada si Boy bukan?
            “Yah, tentu saja tidak mungkin.”
            Aku menyesali jawabanku. Karena sensor dikepalaku terlambat memberi tanda bahaya: Awas Bahaya Wanda!
            “BAGUS! Kalau begitu, aku akan berusaha mendekati bosmu.”
            Ah! Wandaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...!

***


bersambung

Tidak ada komentar:

Translator: