Minggu, 02 Oktober 2016

TELELOVE 73

PUTRI. 23




PREMATUR






“Kembar?” kini aku benar-benar bangun. Mataku membuka lebar, tak memedulikan ruang periksa yang menyilaukan.
            “Qon? Kau baik-baik saja?” pak Jan sepertinya lebih kaget melihat aku bangun dibanding kabar bayi kembarku.
            “Oh, yayaya... bagaimana keadaannya, dokter?” tanyaku langsung pada dokternya.
            “Oh, sehat nona... sangat sehat...”
            “Apa dia normal?” tanyaku melirik  monitornya. Kurasakan  Jantungku berdenyut lebih tegas.
            “Sempurna!” si dokter tersenyum.  Aku melihat wajah pak Jan tak kalah sumringahnya. Ah, kenapa dia menjadi sebahagia itu, atas keadaan anak ini, padahal beberapa waktu lalu, dia selalu memberi saran, ceramah, bahkan hasutan agar aku segera menggugurkan bayi dalam kandunganku.
            “Tak ada hal yang perlu kau cemaskan, selain kecemasanmu sendiri.” Kata si dokter.
            “Terima kasih, dokter. “ aku menengok ke arah dokternya. Seorang tua, dengan kisaran umur 50-an. Kecerdasan nampak menyinari mata pada  wajahnya yang putih bersih.
            “Dokter...?” aku mencoba menanyakan namanya. Mataku merayap turun ke sakunya di mana biasanya tertera nama si dokter. Tapi disana tidak tertera namanya. Disakunya hanya ada beberapa pena canggih yang dapat membantu dokter melakukan diagnosa instan semacam alat pembaca iris mata pasien, suhu, kadar senyawa  tertentu melalui keringat, jika ada.
            “Rut.” Katanya singkat, dihiasi senyuman hangat.
            “Eeeerrr...Rrrut?” tanyaku gemetar. Aku tak kan salah, nama itu begitu rajin diketik berulangkali oleh Yusuf dalam jurnal-jurnal atau buku hariannya! Iniiikkkaaaahhhh ssssaaaahhhaaaabbbaaatt Yusuf dari hutan buatan itu? Atau ini hanya kebetulan?
            Benarkah dia adalah sahabat Yusuf? Itu menurut Yusuf! Bagiku, manusia macam inilah penjahat intelektual sesuangguhnya! Dialah seriga berbulu domba. Kini aku menjadi  gemetar. Tapi benarkah ini dokter Rut yang itu?
            “Kenapa Qon...?” tanya pak Jan.
            Aku menggeleng bingung, senyum masgul, ‘kenapa bapak membawaku ke sini? Kenapa bapak membawaku ke dokter Rut bukan yang lain? Apa hubungan bapak dengan dokter Rut?!’ ingin sekali kutanyakan semua itu.
            Untung saja aku mampu menelannya. Pasir di otakku riuh panik atas keanehan.
            Aku tak mampu menjawab, hanya menatap takjub seseorang yang didewa-dewakan oleh Yusuf, dijaman kegelapannya. Mendadak perutku kontraksi lagi.
            “Apa? Sakit lagi?”tanya pak Jan bingung.
            “Oh, jangan biarkan lahir... ini belum waktunya...” aku meremas seprai dibawahku, menahan sakit.
            “Nona... mungkin mereka  akan lahir prematur...” Si dokter melirik monitor.
            Pasir di otakku riuh berisik berteriak-teriak menyebutkan resiko-resiko bayi lahir prematur yang disebabkan karena pembentukan organ penopang hidupnya belum sempurna.
            Aku akan melahirkan prematur, pada usia kehamilan belum genap 7 bulan! Jadi  bayi kembar ini  mungkin saja cacat, tanpa seorang ayah pula. Tanpa siapapun. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kurasakan pasir diotakku berhamburan tak karuan.
            “Tenang Qon! Tenanglah...” pak Jan menggenggam tanganku.
            “Jan, sebaiknya kita bicara!” dokter Rut menarik tangan pak Jan setengah memaksa.
            Aku ingin sekali mendengar apa yang mereka bicara.  Apa yang mereka rencanakan? Pak Jan? ada dipihak manakah dirimu?
“Haiiiii! Bukankah aku yang hamil? Bukan aku yang akan melahirkan? Kenapa kalian ribut, seolah bayi kembar  ini adalah hak kalian untuk memtuskan apapun terhadapnya.”
            “Haiiii?!!!”
            Tapi sepertinya mereka tak mendengarku, mungkin karena dinding ruangan ini dilapisi peredam suara, mengingat ruang bersalin merupakan ruang yang dianjurkan dilapisi peredam suara. Karena teriakan para wanita menahan atau melepaskan sakitnya menjelang proses kelahiran. Teriakan mereka dipercaya mempengaruhi kondisi psikis siapa saja yang mendengarnya.
            Haha! Miris sekali, di sini, di tempat secanggih ini, penderitaan wanita dalam melahirkan dirahasiakan, sementara di klinik-klinik relawan, wanita melahirkan bebas saja meneriakan apapun saat melahir. Dengan takbir, dengan zikir atau dengan mengabsen binatang dalam sumpah serapah Mereka. Sama saja. Dengan berbagai kondisi, populasi manusia tetap bertambah, dan menyesaki bumi.
            Setelah berulang kali memanggil pak Jan dan dokter Rut, kini bibirku kelu, sakitnya membuatku lemah.  Hanya ada suara erangan dalam mulutku.
Sepertinya sebagian  pasir diotakku kusut di bagian bahasa. Sementara pasir yang lain gemuruh menyanyikan paduan suara  menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan Yusuf!:
            ‘dokter Rut! Dokter Rut! Yusuf ingin dokter Rut! Selalu hanya dokter Rut yang Yusuf rindukan’
            Tapi kemudian pasir di otakku kehilangan nada dan  syair. Lalu diganti dengan keluh kesah Yusuf dimasa peralihan. Aku tak menyangka pasir di otakku cukup rapih menyimpan cerita tentang Yusuf.
            ‘Kenapa dokter Rut tak mencari Yusuf? Apakah dokter Rut bahagia, karena Yusuf menemukan kebebasan. Tapi  Yusuf  yakin, dokter Rut  akan lebih bahagia lagi jika menyadari bahwa Yusuf  mengalami revolusi kemampuan. Loncatan intelektual yang tak seorangpun menyangkanya.’
            Pasir di otakku mulai terengah, tak sabar mengulang semua cerita yang aku baca dari file jurnal Yusuf selama beberapa hari ini. Tentu saja, aku berusaha memahami apa yang Yusuf tulis. Walau  kebanyakan aku tidak memahami. Aku hanya mencoba melakukan pendekatan-pendekatan sederhana saja, agar pasir di otakku tidak terlalu sengsara memikirkannya.
            ‘Hari ini Yusuf menemukan jurnal sains dokter Rut, Dokter Rut  telah menemukan sebuah cara, hingga otak Yusuf  dapat berkembang dan bekerja secara alami, dapat belajar beradaptasi dimanapun Yusuf berada. Mereka merekayasa sebuah gen penentu. Kalau tak salah gen itu  Sebuah peta protein yang menghasilkan senyawa kimia bertindak sebagaii biokatalisator bagi reaksi kimia di otak sehingga otak mampu melakukan analisa dan pengambilan keputusan secara akurat.’
            Pasir di otakku lelah. Aku bingung, sebenarnya apa yang aku inginkan dari segala ingatan itu?  Pasir diotakku riuh berebut menjawabnya.
            ‘jika demikian, apa tujuan dokter Rut menyimpan Yusuf  di hutan buatan? Karena wujud Yusuf  seperti binatang?’
            ‘Oh, ya! Dia menyimpan Yusuf  untuk tujuan yang lebih besar! Dia menginginkan DNA Yusuf yang separuhnya ia rancang? Mengawinkannya dengan ‘sel telur pilihan?’  Apakah Mungkin akan didapat individu yang diharapkannya?’
            ‘Bukankan perkawinan membuat kromosom berpasangan secara acak?’
            ‘Salah, mereka telah melakukan pemilihan!’
            ‘hah?’
            ‘yah seperti kontes super idol! Gen Mana kira-kira yang merupakan unggulan!’
            ‘itu artinya, dokter Rut memberlakukan Yusuf seperti kelinci percobaan’
            ‘oh baru tahu? Bukankah Yusuf  sudah mentafakurinya selama berada di hutan buatan!’
            ‘Dokter Rut itu jadi malaikat penolong Yusuf? Atau pencipta Yusuf? Atau siapun ia yang bisa tiba-tiba berwujud sebagai algojo!’
            ‘Bukan! Dokter Rut cuma Ilmuwan, orang lainlah yang memiliki niat iblis dibaliknya.’
            ‘’Niat iblis? Hahaha, dengar, bahkan iblispun memiliki niat’
            ‘Bagian mana yang kau sebut niat iblis itu?’

            ‘bahwa dia ambil bagian dalam rencana besar, inokulasi buatan pada seorang gadis, dengan sel telur dari trah yang hebat! Sel telur dari silsilah bernenek moyang, bernenek kakek, berpaman, keluarga orang-orang terpilih. Keluarga para super’


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: