Selasa, 11 Oktober 2016

TELELOVE 80

PUTRI. 25
TIPUAN NAKAL



Benarkah ibu Ratija dan kedelapan adikku ada di sini? Bagaimana mungkin? Apa mereka tahu tentang kehamilanku? Pak Jan sudah  memberitahu mereka?  bahwa aku akan melahirkan diusia kehamilan yang baru menginjak tujuh bulan?
            “Qonita, beristigfarlah, bisa jadi sakitmu kini adalah penebus segala dosamu.” Bisik ibu Ratija. Oh? Apa aku masih nampak sebagai berandal kecil dimatanya?
            “Kau yang selalu mencurangi aliran air di apartemen sektor mewah, sekalipun itu untuk alasan rumah kita.”
“Lho... itu kan sudah lama sekali, dan ibu sendiri yang menyuruhku melakukannya untuk melakukannya.”
            “Kau yang menjual kupon jatah airmu demi mengalirnya listrik ilegal ke rumahmu, agar kau bisa melakukan kejahatan-kejahatanmu di dunia maya.”
            “Itu juga sudah lama sekali.”
            “Kau yang sengaja kentut tepat didepan detektor H2S sehingga alarm nya berbunyi, dan membuat orang beramai-ramai membeli tabung oksigenmu.... sttt... kau tidak bisa membenarkan tindakanmu hanya karena saat itu kau berlaku sebagai penjual tabung oksigen... ssstttt... kau tak bisa membenarkan alasanmu hanya karena kau harus membayar uang sewa apartemen kita...”
            “Oh? Kenapa tiba-tiba ibu Ratija membuka semua sejarah kelamku? Apa aku terlihat sedang sekarat?”
            “Istigfarlah... istigfarlah...!” genggaman tangan bu Ratija begitu kuat mencekram. Dia pun mendekatkan bibirnya ke arah telingaku, lalu menghembuskan suara talkinnya, bacaan penuntun seseorang saat menjelang kematian.
            Aku akan mati! Padahal aku belum melahirkan, astaga nyeri sekali perutku.
            Kulihat ke sembilan adikku mengelilingiku, mereka menangisiku.
            “Jangan tinggalkan kami kakak Qon..” Dinda berbisik cempreng di telingaku.
            Aku bingung. Tuhan, di manakah aku ini? Apa aku berada diantara langit dan bumi?
            Lalu tiba-tiba cahaya terang menyala tepat di atasku. Oh... benar aku sudah tamat. Jadi seperti ini rupanya Izroil  Malaikat pencabut nyawa itu, bercahaya, seperti...
            Lampu?!
            Lalu kulirik bayangan siluet gelap disisiku. Pak Jan! aku langsung bangun
            “Aku masih hidup pak Jan! aku masih hidup! Alhamdulillah!”
            “Tentu saja Qon, kau itu cuma hamil bukan sekarat.” Katanya tersenyum.
            “Bagaimana keadaanya?” dokter Rut muncul di ambang pintu.
            Kewaspadaanku menyala saat kulihat dokter Rut berjalan menghampiri kami.  Kurasa dokter Rut adalah semacam srigala berbulu domba. Bayangkan! Dialah orang nomor satu yang tercatat sebagai salah satu ‘pencipta Yusuf!’. Dialah salah satu  orang gila, kejam, yang membiarkan orang secerdas Yusuf di ‘kurung’ dalam hutan buatan hingga bertingkah layaknya  binatang.
            Sedangkan pak Jan cukup mencurigakan karena membawaku –ke sini-.
            “Dok, saya tidak akan melahirkan sekarang, bukan?” tepat pada waktu yang sama, rahimku memeras lagi. Sakitnya luar biasa.  Hingga aku tak mampu menahan sakitnya. Aku tak bisa berakting lagi, seolah-olah tak terasa apapun.
            “Sepertinya, bayimu telah menjawabnya Qon.” Pak Jan tersenyum hangat, dia pasti melihatku mengeryit menahan sakit. Oh, Tuhan, seandainya benar pak Janlah ayah bayi ini, dan ini adalah takdirku, aku sungguh akan menerimanya. Pasrah.
            Tuhan! Kenapa pak Jan nampak bahagia? Cemas? Sungguh perilakunya membuat hatiku runtuh, sekalipun aku tidak semabuk kepayang seperti dulu lagi. Sekalipun tak ada lagi getar-getar rasa di hati. Sementara itu aku juga harus ingat, pak Jan mungkin saja cuma bersandiwara, karena dia terkait dengan dokter Rut.
            “Minumlah dulu, agar kau tenang.” Pak Jan membuka botol jus apel. Aku harus waspada, jangan-jangan dia telah membubuhi racun atau kimia apalah ke dalam botol ini.
            “Aku ingin kau meminumnya terlebih dahulu.” Kataku mendorong botol ke dalam mulutnya. Gayaku kubuat manja. Aku yakin, ibu Ratija pasti memukulku bila melihatku semanja ini terhadap lelaki bukan muhrimnya.
            “Oh?” pak Jan nampak bingung.
            “Mungkin bayi ini ingin merasakan sesuatu dari-mu.” Aku merajuk manja. Aih-aih... pasir di otakku sepertinya mulai memetik siter kecapi india untuk melengkapi adegan romantis ini.
            Pak Jan tersenyum. Aku lihat binar di matanya. Oh? Adakah ‘penjahat’ memiliki tatapan mata sehangat ini? Waspadalah Qonita! Pasir di otakku batal memainkan siter kecapi india, tapi mereka, para pasir itu mendendangkan seruling sihir, sementara pasir yang lain meliuk-liuk seperti ular. Seperti Ular yang muncul dari dalam keranjang anyaman. Meliuk seiring nada seruling sihir.
 Ya pak Jan itu  bisa jadi Ular berbahaya!
            Nah, kan dia tidak mau meminum jus apel ini! Tanganku membawakan botol itu ke bibirnya yang merah tipis itu. Kubisikan setengah gelisah: “Kau tahu ini yang namanya ‘mengidam’, keinginan si bayi, tanpa alasan.”
            Pak Jan mengangkat alisnya. Lalu dia menyesap, cukup banyak.
            Oh, berarti jus apel itu  aman.
            Lalu aku menyesapnya sedikit. Mataku lama menatap dokter Rut yang berdiri di ujung ranjang. Dia mengelus jenggot putihnya, menatapku dalam tanpa kata, seperti sedang berpikir.
“Kita sudah membicarakannya bukan?” suara pak Jan ditujukan untuk dokter Rut.

Kedengarannya  seperti teka-teki yang hinggap digunungan pasir otakku. Apa? Mereka, dokter Rut dan pak Jan,  telah membicarakan apa? Oya, tentu saja diskusi tadi, saat aku perutku sakit gila-gilaan, dan aku pasrah untuk melahirkan.





BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: