Minggu, 16 Oktober 2016

TELELOVE 82

PUTRI. 26.
BUKA SAJA TOPENGMU!





Setelah itu, dia  terburu ke luar dari kamar. Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Tuhan! Kenapa dia berani menyentuh daguku? Apa karena hamil, aku kini nampak ‘murahan’? Perasaan bersalah menderaku Perutku mencengkeram sakit, menyadarkanku kembali. Aku harus berpikir cepat, jangan menunggu hasil test urineku (yang isinya jus apel madu) itu membuat kegemparan. Sebelum kegemparan terjadi, aku harus sudah jauh dari sini.
            Ibu Ratija, tolonglah aku! Kini  aku baru sadar, telpon genggamku hilang.
***


Saat aku bingung mencari telpon genggamku, pintu otomatis ruanganku bergeser. Kukira perawat yang akan muncul, ternyata dokter Rut. Oh? Bukankah dia  baru saja keluar dari ruang ini dengan tergesa-gesa? Apa ada yang tertinggal? Atau  dia akan membalas dendam karena aku mengisi kaleng  jus apel dengan urine ku, dan dia meminumnya?
            “Cepat!” dia menarik selimutku membuat aku terkejut. Apa? Dia mau apa? Membuka selimut tanpa permisi begini. Lewat kaca jendela, sepintas aku menangkap gambar gadis berjilbab berwajah idiot. Oh itu adalah aku!
 Karena aku masih bingung dan diam, Dokter tua itu mencari jaket dan sepatu katsku dan memasangkan dengan paksa padaku. Kelakuannya sungguh tak terduga. Apa dia akan menculikku dan menjadikan aku sebagai kelinci percobaannya seperti Yusuf? Gadis hamil, tentu objek yang cukup menarik bagi segala percobaannya.
Pasir di otakku riuh menghasut. Ingat dokter inilah yang menjadikan Yusuf mengerikan seperti itu. Membiarkannya bodoh, tak manusiawi! Apa kau mau menggantikan Yusuf menjadi kelinci percobaannya? Atau dia kini mengincar anak kembarmu! Akupun menahan gerak tangannya. Menolaknya meneruskan gerakan.“Ada apa dokter?”
             “Ayo cepat, ... kalau tidak...”
            “Kalau tidak kenapa Dok?” tiba-tiba pintu terbuka. Pak Jan berdiri di sana, matanya menyala  penuh amarah. Oh, pahlawanku!
            Syukurlah! Rupanya Allah mengirimiku penyelamat di saat yang tepat.
            “Oh-oh, kalau tidak semuanya akan terlambat Jan..” suara dokter Rut terdengar kaget dan gugup. Tangannya yang mengikat tegas tali sepatuku, gemetar diatas selimut. Matanya berkedip bingung.
            Hahaha, dokter Rut, kau mau bilang apa?
“Aku akan memeriksanya, aku menangkap sesuatu yang tak beres di monitor pengamat kami.” Suara dokter Rut tenang.
Hmm, secepat itu dia mendapatkan kestabilan, dasar ilmuwan culas.
“Aku tak percaya.” Pak Jan mendekati kami. Tangannya, seperti biasa, bersembunyi di saku celananya.
“Aku tak memerlukan kepercayaanmu.” Dokter Rut menarikku turun, lalu dia berbisik, “Cepat, pada hitungan ke tiga, kita lari, loncat ke jendela, mobilku ada di bawah.”
Hahaha. Dasar penculik bodoh. Mana ada korban yang bisa bekerja sama?
“Qonita... ini penting!” akhirnya dokter Rut mendorongku turun, dan menarikku ke jendela. Tapi  pak Jan lebih sigap. Dia menarik tanganku yang lain dan mendekapku.
Dari cermin dibelakangnya aku melihat tangan kanan pak Jan mengeluarkan senjata mungil dari balik pinggangnya.
“Oh... Jan....” dokter Rut mundur sambil mengambil  bantal dan menggunakannya sebagai tameng. “Untuk apa kau lakukan itu? membunuhku sama dengan kau kehilangan setengah rancangan risetmu.” Dokter Rut mencoba bernegosiasi.
Pasir diotakku riuh bertanya. Riset? Pak Jan terlibat dalam riset apa bersama dokter Rut? “Apa maksudnya dengan risetmu pak Jan?” tanyaku akhirnya.
“Qonita...”suara dokter Rut terpotong dengan jawaban cepat pak Jan.
“Tidak ada riset apapun, Qon. Dokter Rut hanya tertarik dengan kehamilanmu. Seperti ilmuwan gila lainnya.”
“Cepat selamatkan dirimu, Qon! Gedung ini akan meledak karena seseorang menyumbat saluran  septik tanknya! Jika aku menculikmu, bagaimana aku memperingatkan ini? CEPAT!” dokter Rut menunjuk berulang kali ke arah jendela.
Pasir diotakku membadai. Benar, bagaimana mungkin seorang penculik membiarkan korbannya lari?
“Jangan bodoh Qon, beberapa kaki tangannya telah menunggu saat kau keluar dari ruang ini. Mana bisa septik tank di sumbat terus meledak? Dan kau dokter Rut, sepertinya aku harus membuatmu diam, agar tak membingungkan Qonita.”
Dar!
Tanpa diduga, tanpa dialog lagi, peluru dari pistol kecil itu melesat tanpa bayangan yang dapat aku tangkap. Langsung menembus bantal. Dokter Rut diam, terkejut. Wajahnya datar, matanya sekejap membulat kaget.
Haaa... dia masih hidup? Dia selamat dari tembakan ini? Karena menahannya dengan bantal? Mana mungkin!
“Larilah Qon! selamatkan dirimu!” dokter Rut terduduk, suaranya melemah.
Aku bukannya tak ingin melarikan diri dari situasi yang tiba-tiba membingungkan ini. Tapi kakiku tiba-tiba lemas karena shock melihat penembakan di depan mata, sekalipun korbannya nampak ‘hanya’ terduduk dan kesakitan.
“Oh, Qon, kemarilah!” dengan sigap pak Jan menarikku. Aku seperti melayang lari. Sepertinya keadaan shock berhasil menghilangkan beberapa adegan di depanku.

***


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: