PUTRI.
26.
BUKA SAJA TOPENGMU!
Setelah itu, dia terburu ke luar dari kama r.
Kubenamkan wajahku ke dalam bantal. Tuhan! Kenapa dia berani menyentuh daguku?
Apa karena hamil, aku kini nampa k
‘murahan’? Perasaan bersalah
menderaku Perutku mencengkeram sakit,
menyadarkanku kembali. Aku harus berpikir cepat, jangan menunggu hasil test
urineku (yang isinya jus apel madu) itu membuat kegemparan. Sebelum kegemparan
terjadi, aku harus sudah jauh dari sini.
Ibu
Ratija, tolonglah aku! Kini aku baru
sadar, telpon genggamku hilang.
***
Saat aku bingung mencari telpon
genggamku, pintu otomatis ruanganku bergeser. Kukira perawat yang akan muncul,
ternyata dokter Rut. Oh? Bukankah dia
baru saja keluar dari ruang ini dengan tergesa-gesa? Apa ada yang tertinggal?
Atau dia akan membalas dendam karena aku
mengisi kaleng jus apel dengan urine ku,
dan dia meminumnya?
“Cepat!”
dia menarik selimutku membuat aku terkejut. Apa? Dia mau apa? Membuka selimut
tanpa permisi begini. Lewat kaca jendela, sepintas aku menangkap gambar gadis
berjilbab berwajah idiot. Oh itu adalah aku!
Karena aku masih bingung dan diam, Dokter tua
itu mencari jaket dan sepatu katsku dan memasangkan dengan paksa padaku.
Kelakuannya sungguh tak terduga. Apa dia akan menculikku dan menjadikan aku
sebagai kelinci percobaannya seperti Yusuf? Gadis hamil, tentu objek yang cukup
menarik bagi segala percobaannya.
Pasir di otakku riuh menghasut. Ingat dokter inilah yang menjadikan Yusuf
mengerikan seperti itu. Membiarkannya bodoh, tak manusiawi! Apa kau mau
menggantikan Yusuf menjadi kelinci percobaannya? Atau dia kini mengincar anak
kembarmu! Akupun menahan gerak tangannya. Menolaknya meneruskan gerakan.“Ada apa dokter?”
“Ayo cepat, ... kalau tidak...”
“Kalau
tidak kenapa Dok?” tiba-tiba pintu terbuka. Pak Jan berdiri di sana , matanya menyala penuh amarah. Oh, pahlawanku!
Syukurlah!
Rupanya Allah mengirimiku penyelamat di saat yang tepat.
“Oh-oh,
kalau tidak semuanya akan terlambat Jan..” suara dokter Rut terdengar kaget dan
gugup. Tangannya yang mengikat tegas tali sepatuku, gemetar diatas selimut.
Matanya berkedip bingung.
Hahaha,
dokter Rut, kau mau bilang apa?
“Aku akan memeriksanya, aku
menangkap sesuatu yang tak beres di monitor pengamat kami.” Suara dokter Rut
tenang.
Hmm, secepat itu dia mendapatkan
kestabilan, dasar ilmuwan culas.
“Aku tak percaya.” Pak Jan
mendekati kami. Tangannya, seperti biasa, bersembunyi di saku celananya.
“Aku tak memerlukan
kepercayaanmu.” Dokter Rut menarikku turun, lalu dia berbisik, “Cepat, pada
hitungan ke tiga, kita lari, loncat ke jendela, mobilku ada di bawah.”
Hahaha. Dasar penculik bodoh.
Mana ada korban yang bisa bekerja sama?
“Qonita... ini penting!” akhirnya
dokter Rut mendorongku turun, dan menarikku ke jendela. Tapi pak Jan lebih sigap. Dia menarik tanganku
yang lain dan mendekapku.
Dari cermin dibelakangnya aku
melihat tangan kanan pak Jan mengeluarkan senjata mungil dari balik
pinggangnya.
“Oh... Jan....” dokter Rut mundur
sambil mengambil bantal dan
menggunakannya sebagai tameng. “Untuk apa kau lakukan itu? membunuhku sama
dengan kau kehilangan setengah rancangan risetmu.” Dokter Rut mencoba
bernegosiasi.
Pasir diotakku riuh bertanya.
Riset? Pak Jan terlibat dalam riset apa bersama dokter Rut? “Apa maksudnya
dengan risetmu pak Jan?” tanyaku akhirnya.
“Qonita...”suara dokter Rut
terpotong dengan jawaban cepat pak Jan.
“Tidak ada riset apapun, Qon.
Dokter Rut hanya tertarik dengan kehamilanmu. Seperti ilmuwan gila lainnya.”
“Cepat selamatkan dirimu, Qon!
Gedung ini akan meledak karena seseorang menyumbat saluran septik tanknya! Jika aku menculikmu,
bagaimana aku memperingatkan ini? CEPAT!” dokter Rut menunjuk berulang kali ke
arah jendela.
Pasir diotakku membadai. Benar,
bagaimana mungkin seorang penculik membiarkan korbannya lari?
“Jangan bodoh Qon, beberapa kaki
tangannya telah menunggu saat kau keluar dari ruang ini. Mana bisa septik tank
di sumbat terus meledak? Dan kau dokter Rut, sepertinya aku harus membuatmu
diam, agar tak membingungkan Qonita.”
Dar!
Tanpa diduga, tanpa dialog lagi,
peluru dari pistol kecil itu melesat tanpa bayangan yang dapat aku tangkap.
Langsung menembus bantal. Dokter Rut diam, terkejut. Wajahnya datar, matanya
sekejap membulat kaget.
Haaa... dia masih hidup? Dia
selamat dari tembakan ini? Karena menahannya dengan bantal? Mana mungkin!
“Larilah Qon! selamatkan dirimu!”
dokter Rut terduduk, suaranya melemah.
Aku bukannya tak ingin melarikan
diri dari situasi yang tiba-tiba membingungkan ini. Tapi kakiku tiba-tiba lemas
karena shock melihat penembakan di depan mata, sekalipun korbannya nampak ‘hanya’
terduduk dan kesakitan.
“Oh, Qon, kemarilah!” dengan
sigap pak Jan menarikku. Aku seperti melayang lari. Sepertinya keadaan shock
berhasil menghilangkan beberapa adegan di depanku.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar