Kamis, 27 Oktober 2016

TELELOVE 86

PANGERAN.27



KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN



“Karena Janlah otak segalanya! Dia tahu semua tentang hutan buatan ini!  Dia tahu pintu menuju atapnya! Bagaimana mungkin dia tahu jalan-jalan di sini bila bukan dia yang merancangnya! Dialah yang bertanggungung jawab atas kehamilanmu! Bayimu adalah anakku, Qonita! Kita cuma  kelinci percobaannya!”suaraku bersemangat, penuh tenaga.
            “Qonita, dengar! Tak tahukah kau bahwa Seekor manusia buatan begitu pandai berimajinasi ditengah kerusakan otak dan kecacatan mentalnya!” Jan bicara sambil berusaha menggapai pintu di atasnya.
            Tangannya dibantu seseorang dari atap sana.  Aku tak boleh terlambat. Kugapai kakinya, sekali dua kali aku tak bisa menggapi. Kutekadkan dengan sedikit loncatan. Berhasil. Aku bergelantung dengan memegang kaki Jan.
            “Qonita turunlah, demi anak yang kau kandung, dan kebenaran yang nyata...” pintaku di sela hela nafasku, tanganku menggapai Qonita.
            “Tembak dia!” peritah Jan pada seseorang diatas sana.
            Tembak? Tembak dengan peluru yang menghacurkan semuanya? Tidak! Secara spontan aku bergoyang-goyang membuat gerak ayunan. Hingga beberapa peluru berdesing meleset disamping tubuhku.
            “Lepaskan kakiku, Binatang!” teriak Jan kalap.
            “Qon! Turunlah!” pintaku.
            “Selamatkan gadis  ini!” perintah Jan pada orang yang diatas sana.
            “Akulah ayah anak itu Qonita! Aku kabur dari sini dan mencarinya selama pelarianku.” Kurasakan kekuatan lain dalam suaraku. Ini pasti karena Tuhan memberikan kekuatan ekstra padaku.
            “Apa?!” Qonita tidak menerima bantuan uluran tangan orang yang di atas. Dia mengambil dahan dan lepaskan diri dari Jan Rabiko. 
            “Hahaha! Dasar gila! Bagaimana mungkin manusia buatan  steril mempunyai anak? Oh, Qonita apa yang kau lakukan?” Kini Jan bergerak berusaha menggapai Qonita. Ini adalah kesempatanku menariknya. Ya Tanganku mencoba menarik tubuh Qonita lebih keras. Kami kini sama-sama berdiri di panggung kayu tempat para peneliti melakukan observasi. Panggung kayu tempat aku dan dokter Rut berkasih sayang seperti ‘hewan peliharaan’ dan majikannya.
            Rumah pohon  tempat dokter Rut bicara padaku, sekalipun aku bisu, lalu menangis, lalu tertawa. Dokter Rut yang telah hancur...
            Jan mari kita tunjukan siapa tuan rumah di sini!
            “Qonita! Turunlah terus, dari pohon ini, di sebelah kanan kau akan menemukan gorong-gorong pembuangan air sungai buatan, ikuti saja arusnya, kau akan selamat! Ceritakan pada dunia apa yang terjadi di sini!” Sambil meloncat ke sana ke mari menghindari tendangan dan tinju Jan, mataku berbinar melihat Qonita turun sendiri.
            “Kejar anak itu!”  Jan memberi perintah pada orang-orang di atas. Para begundalnya yang terlatih meluncur turun melalui tiang penyangga.
            Sementara kami masih sibuk berkelahi dengan aneka jurus. Sekali lagi, aku terkejut, ternyata  Jan juga  pandai bela diri. Sementara aku hanya menggunakan kemampuanku menghindar.
            Kutengok ke arah bawah beberapa carnivora buatan sedang melangkah bingung. Mereka tak bisa memanjat, sementara asap mendesak mereka. Bunyi geram dan jerit histeris binatang-binatang buatan membuat kacau pendengeranku.
            Aku baru sadar, keselamatan mereka juga terancam dengan turunnya para begundal Jan dan senjata pamungkasnya. Aku mencari dahan lebih tinggi, menghindari Jan. Kulihat Jan mentertawakan aku. Dia pasti menyangka aku menghindarinya. Aku tak peduli dengan dugaannya.
            Kulengkingkan suara kewaspadaanku, lalu suara peringatanku. Suara asliku saat aku bisu bahasa manusia. Aku merasa inilah pertolongan Tuhan yang lain, karena di saat yang sama, para carnivore di bawah sana mengerti maksudku, mereka melihat ke atas, dan berpencar. Aku memberi komandaku dengan bahasa ‘primitive’ ini, agar mereka mewasapadai senjata, dan membiarkan tembakan terus berlangsung. Hingga akhirnya para begundal Jan itu kehabisan peluru.
            “Sial! Kau memperingatkan teman-temanmu? Dasar Binatang!” Jan menghentikan langkahnya. Dari atas dia memandangku takjub.
            Kukirimkan seriangai terindahku.
            Suara tembakan terhenti. Senyap. Lalu secara tiba-tiba para karnivora itu menyerang dengan cara mengeroyok para begundal Jan. Bisa dipastikan kebengisan yang terjadi, karena  mereka sedang membayar hutang dendam mereka atas teman-teman mereka yang mati ditembaki para pemburu.
            Hanya sebentar saja aku lengah, kudapati Jan dengan sigap lari memanjat ke atas, dan dengan gesit dia menutup dan mengunci pintu geser kurungan polymer hutan buatan ini. Aku gagal meraihnya. Kulihat Jan menarik tali yang terjulur dari helikopter. “Tarik! Tarik! Cepat pergi dari sini!” aku bisa melihat bahasa bibirnya bicara. Manusia jahat itu membiarkan anak buahnya mati dikoyak-koyak para karnivora.
            Kuputuskan secepatnya mengejar Qonita dibawah sana. Kulewati para karnivora buatan yang sedang berpesta dengan hidangan para penembak jitu yang tak jitu. Para Karnivora buatan tak mempedulikan keadaan genting seperti ini. Kecipak mulut mereka mengaduk air liur dan sobekan daging tertimpa oleh geram kenikmatan makan mereka  di Suaranya terdengar mengerikan.
            Rupa wajah mereka berlumur darah para pemburu. Mata mereka menyala penuh amarah.  Inilah yang dinamakan impas. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa.
            Tak jauh dari pohon ini, aku bisa melihat selokan buatannya. Arusnya lumayan deras. Debit yang tinggi itu di desain agar air yang lewat selalu kaya akan oksigen. Akupun terjun ke sana, mengikuti arusnya. Mengikuti Qonita.
***
           



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: