PANGERAN.27
KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN
KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN
“Karena Janlah otak segalanya!
Dia tahu semua tentang hutan buatan ini!
Dia tahu pintu menuju atapnya! Bagaimana mungkin dia tahu jalan-jalan di
sini bila bukan dia yang merancangnya! Dialah yang bertanggungung jawab atas
kehamilanmu! Bayimu adalah anakku, Qonita! Kita cuma kelinci percobaannya!”suaraku bersemangat,
penuh tenaga.
“Qonita,
dengar! Tak tahukah kau bahwa Seekor
manusia buatan begitu pandai berimajinasi ditengah kerusakan otak dan
kecacatan mentalnya!” Jan bicara sambil berusaha menggapai pintu di atasnya.
Tangannya
dibantu seseorang dari atap sana . Aku tak boleh terlambat. Kugapai kakinya,
sekali dua kali aku tak bisa menggapi. Kutekadkan dengan sedikit loncatan.
Berhasil. Aku bergelantung dengan memegang kaki Jan.
“Qonita
turunlah, demi anak yang kau kandung, dan kebenaran yang nyata...” pintaku di
sela hela nafasku, tanganku menggapai Qonita.
“Tembak
dia!” peritah Jan pada seseorang diatas sana .
Tembak?
Tembak dengan peluru yang menghacurkan semuanya? Tidak! Secara spontan aku
bergoyang-goyang membuat gerak ayunan. Hingga beberapa peluru berdesing meleset
disamping tubuhku.
“Lepaskan
kakiku, Binatang!” teriak Jan kalap.
“Qon!
Turunlah!” pintaku.
“Selamatkan
gadis ini!” perintah Jan pada orang yang
diatas sana .
“Akulah
ayah anak itu Qonita! Aku kabur dari sini dan mencarinya selama pelarianku.”
Kurasakan kekuatan lain dalam suaraku. Ini pasti karena Tuhan memberikan
kekuatan ekstra padaku.
“Apa?!”
Qonita tidak menerima bantuan uluran tangan orang yang di atas. Dia mengambil
dahan dan lepaskan diri dari Jan Rabiko.
“Hahaha!
Dasar gila! Bagaimana mungkin manusia buatan
steril mempunyai anak? Oh, Qonita apa yang kau lakukan?” Kini Jan
bergerak berusaha menggapai Qonita. Ini adalah kesempatanku menariknya. Ya
Tanganku mencoba menarik tubuh Qonita lebih keras. Kami kini sama-sama berdiri
di panggung kayu tempat para peneliti melakukan observasi. Panggung kayu tempat
aku dan dokter Rut berkasih sayang seperti ‘hewan
peliharaan’ dan majikannya.
Rumah
pohon tempat dokter Rut bicara padaku,
sekalipun aku bisu, lalu menangis, lalu tertawa. Dokter Rut yang telah
hancur...
Jan
mari kita tunjukan siapa tuan rumah di sini!
“Qonita!
Turunlah terus, dari pohon ini, di sebelah kanan kau akan menemukan
gorong-gorong pembuangan air sungai buatan, ikuti saja arusnya, kau akan
selamat! Ceritakan pada dunia apa yang terjadi di sini!” Sambil meloncat ke sana ke mari menghindari
tendangan dan tinju Jan, mataku berbinar melihat Qonita turun sendiri.
“Kejar
anak itu!” Jan memberi perintah pada
orang-orang di atas. Para begundalnya yang
terlatih meluncur turun melalui tiang penyangga.
Sementara
kami masih sibuk berkelahi dengan aneka jurus. Sekali lagi, aku terkejut,
ternyata Jan juga pandai bela diri. Sementara aku hanya
menggunakan kemampuanku menghindar.
Kutengok
ke arah bawah beberapa carnivora buatan
sedang melangkah bingung. Mereka tak bisa memanjat, sementara asap mendesak
mereka. Bunyi geram dan jerit histeris binatang-binatang buatan membuat kacau
pendengeranku.
Aku
baru sadar, keselamatan mereka juga terancam dengan turunnya para begundal Jan
dan senjata pamungkasnya. Aku mencari dahan lebih tinggi, menghindari Jan.
Kulihat Jan mentertawakan aku. Dia pasti menyangka aku menghindarinya. Aku tak
peduli dengan dugaannya.
Kulengkingkan
suara kewaspadaanku, lalu suara peringatanku. Suara asliku saat aku bisu bahasa
manusia. Aku merasa inilah pertolongan Tuhan yang lain, karena di saat yang sama,
para carnivore di bawah sana
mengerti maksudku, mereka melihat ke atas, dan berpencar. Aku memberi komandaku
dengan bahasa ‘primitive’ ini, agar mereka mewasapadai senjata, dan membiarkan
tembakan terus berlangsung. Hingga akhirnya para begundal Jan itu kehabisan
peluru.
“Sial!
Kau memperingatkan teman-temanmu?
Dasar Binatang!” Jan menghentikan langkahnya. Dari atas dia memandangku takjub.
Kukirimkan
seriangai terindahku.
Suara
tembakan terhenti. Senyap. Lalu secara tiba-tiba para karnivora itu menyerang
dengan cara mengeroyok para begundal Jan. Bisa dipastikan kebengisan yang
terjadi, karena mereka sedang membayar
hutang dendam mereka atas teman-teman mereka yang mati ditembaki para pemburu.
Hanya
sebentar saja aku lengah, kudapati Jan dengan sigap lari memanjat ke atas, dan
dengan gesit dia menutup dan mengunci pintu geser kurungan polymer hutan buatan
ini. Aku gagal meraihnya. Kulihat Jan menarik tali yang terjulur dari
helikopter. “Tarik! Tarik! Cepat pergi dari sini!” aku bisa melihat bahasa
bibirnya bicara. Manusia jahat itu membiarkan anak buahnya mati dikoyak-koyak
para karnivora.
Kuputuskan
secepatnya mengejar Qonita dibawah sana .
Kulewati para karnivora buatan yang
sedang berpesta dengan hidangan para penembak jitu yang tak jitu. Para Karnivora buatan tak mempedulikan
keadaan genting seperti ini. Kecipak mulut mereka mengaduk air liur dan sobekan
daging tertimpa oleh geram kenikmatan makan mereka di Suaranya terdengar mengerikan.
Rupa
wajah mereka berlumur darah para pemburu. Mata mereka menyala penuh
amarah. Inilah yang dinamakan impas.
Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa.
Tak
jauh dari pohon ini, aku bisa melihat selokan buatannya. Arusnya lumayan deras.
Debit yang tinggi itu di desain agar air yang lewat selalu kaya akan oksigen.
Akupun terjun ke sana ,
mengikuti arusnya. Mengikuti Qonita.
***
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar