Senin, 24 Oktober 2016

TELELOVE 84

PANGERAN. 27
KERIBUTAN  DI HUTAN BUATAN
           





Apa saja yang dilakukan dokter tua itu? kenapa begitu lama?  kenapa dokter Rut tak kembali juga?  Usianya yang tua pasti membuatnya bergerak lamban. Aku harus lebih bersabar lagi.  Kusibukan diriku dengan melakukan banyak hal. Tidur, mengamati cctv, lalu sholat tahajud.
Dalam sujudku kubisikan pada Tuhanku, agar ia memampukan aku untuk membawa Qonita dan anakku, pergi dari sini, dan mengayomi mereka. Karena aku seorang suami, dan seorang ayah bagi anak-anakku. Kuulangi sujudku.Tuhan lindungi aku!
            Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Segera kumulai langkah lariku. Malam begitu senyap. Gelap. Angin berhembus perlahan, mengantarkan aroma tak sedap dari kejauhan.  Kuhirup dalam-dalam udara malam ini. Benar. Aku bisa mencium kimia bahan ledakan. Mungkin dari  Hutan Buatan. Aku juga mencium bau panggangan daging. Pasti ada penghuninya yang terpanggang. Apakah mereka, para biadab,  itu melakukannya lagi? Di waktu seperti ini, tengah malam ?
            Mengingat kemungkinan apa yang sedang terjadi di sana, kurasakan jantungku berdenyut lebih keras, seolah jantung ini ingin lepas dari selubungnya.
            Aku berlari lebih cepat lagi, kukibas ilalang-ilang tinggi yang aku lalui. Aku tak boleh melewati jalan umum, sekalipun  kawasan ini sangat sepi, aku tak ingin mengambil resiko berpapasan dengan orang, dan memancing kecurigaan.
            Pagar yang mengelilingi kawasan ‘buangan’ ini sudah nampak dari kejauhan, aku harus hati-hati. Mengingat secara cepat letak kamera-kamera pengintai. Jangan sampai aku tertangkap oleh kamera. Aku harus mengalihkan arahnya dengan cara memasuki sistem keamanan mereka, dan mengendalikannya melalui penyerentaku.
            Berhasil. Terima kasih dokter Rut, atas idemumu menanamkan kepandaian dan gen primitifku.
            Maka melengganglah aku. Melayanglah tubuhku, kembali berlari secepat aku mampu.
Dari jauh kurasakan kegemparan  Hutan Buatan. Kuputuskan berhenti sejenak. Lalu aku panjat pohon Ki pahit yang ada di samping jalan. Dari atas pohon ini, aku bisa melihat cahaya berpendar yang berasal dari lingkungan elit B-Go. Kadang satu kawasan berkelap kelip. Gelap lalu memerah terang. Lalu gelap lalu  memerah terang. Berpendar nyeri. Itu pasti kawasan Hutan Buatan, cahaya-cahaya itu pasti hasil dari ledakan-ledakan gila para biadab.
Melalui beberapa pintu keamanan jaringan, aku berhasil menemukan cara mentelusuri peta kawasan kerja B-Go.  Dari peta hasil pencitraan  satelit, dan kejelian mataku, aku dapat menemukan pintu langit-langit buatan. Pintu-pintu yang biasa digunakan oleh para ilmuwan  untuk mencapai pucuk-pucuk pohon tertinggi di hutan buatan, dimana mereka biasanya melakukan penelitian, atau pengamatan lingkungan langsung. Ternyata langit-langit Hutan Buatan terdiri atas pintu-pintu geser  yang bisa dikendalikan jarak jauh.
            Syukurlah aku bisa menemukannya melalui kehebatan teknologi penyerenta ini. Setelah aku berhasil menyusup kedalam sistem kendali pintunya, kini aku dapat membuka menutup pintunya dari sini.
Tentu saja yang aku lakukan adalah membukanya. Agar ‘teman-temanku dari kelompok Burung Buatan’ dapat terbang keluar. Atau mungkin hewan buatan lain dapat merayapi dindingnya menuju kebebasan dunia luar.  Agak terlambat memang. Tapi daripada tidak kulakukan apapun.
Benar saja. Selain burung buatanPrimata buatanpun mulai ke luar dari sana. Terbayang suasananya begitu  ribut dan kacau. Samar aku mulai mendengar sirine meraung-raung. Semua meneriakan tanda bahaya.
            Aku harus bergerak cepat! Mencari Qonita dan dokter Rut untuk menyelamatkan mereka. Aku pun menuruni pohon Ki pahit. Dengan baju seragam karyawan milik dokter Rut yang sangat  kekecilan, aku berlari ke arah paviliun gedung B-Go. Paviliun yang dijadikan klinik perawatan para pasien. Qonita mungkin di sana.
            Lariku berlawanan arah dengan penghuni gedung.  Orang-orang dari dalam berhamburan ke luar gedung. Sementara dari luar sini, tim penyelamat berlarian menuju gedung, dan kelompok penyelamat lain berlarian  menuju hutan buatan. Kurasa tak seorangpun mencurigaiku. Sekalipun aku berbaur dengan mereka. Ini pasti karena aku mengenakan seragam kerja dokter Rut.
            Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan Qonita. Aku membuka pintu kamarnya. Tapi di sana yang kutemukan  hanya dokter Rut, terduduk lesu di bawah ranjang kosong.
            “Dokter!”
            “Sebelas…!Yu-suf...” tangannya yang semula menutup dadanya menghalau  ke arahku. Kini aku dapat melihat aliran darah dari dadanya.
            “Dokter... siapa yang...” belum sampai kalimatku diujung, dokter Rut dengan suara parau tangannya tetap bergerak mengusirku.
            “Jan. Jan Rabiko… membawa Qonita… pergi. Selamatkan Qonita!... Dia bisa melahirkan… di mana saja! …. Cepat!” Dokter Rut berbisik di telingaku. Aku hanya mengangguk. Kukutuki diriku karena aku terlambat datang.
            “Dokter, bertahanlah.. aku akan menghentikan pendarahannya.”
            “Ti.. dak... perlu... aku ingin segera  mati.. cepat pergi.. kejar mereka!”
            “Aku harus mencari sesuatu...” mataku mencari alat medis yang kira-kira tersedia di situ. Tapi bagaimana mungkin ini hanya ruang perawatan, bukan penyimpanan alat-alat medis.
            “Ti... dak.. Kau tidak bisa melawan peluru ini... cepat pergi!” bisiknya parau.
            Mataku membelalak liar, otakku menyeruak, mengeluarkan ingatan tentang peluru para pemburu di  hutan buatan. Dokter Rut mengangguk pasrah.
            “Tidak!... Tidaaaak...!”
            “Cukup Yusuf... inilah hasil segala kerja kerasku... kau harus menyelamatkan Qonita... karena dengan begitu... berarti... kau akan terus mengenangku dengan kebaikan.”
            “Dokter...”
            “Maafkan aku... Yusuf...”
            “Dokter...”
            “Kau adalah anugerah terindah dalam  hidupku, Yusuf, aku bahagia melihatmu… seperti ini… cepat… kejar mereka !”
            Kutetapkan hati ini untuk tak berpaling lagi, pada seorang tua yang menyayangiku. Cepat aku melesat ke luar ruang. Begitu pintu otomatis menutup, aku dikejutkan dengan bunyi ledakan dari ruang yang baru saja aku tinggalkan itu.
            Kakiku kaku tak mampu melangkah lagi. Mataku terpejam. Aku tak ingin membayangkan wajah dokter Rut dan  muncratan darah yang mengotori ruangan. Tapi aku gagal.
            Hatiku begitu pedih. Dalam kekacauan sekejap kurasakan gejala meluruh pedihku. Tidak jangan sekarang! Kulantunkan almatsuratku berulang. Mencari ketenangan disana. Mendamaikan kekalutan akutku. Aku harus tenang! Tuhan hanya Engkaulah obat segala sakitku. Aku ikhlas. Innaka ni’mal maulaa wa ni’man nashiir. Sesungguhnya Enggkau sebaik-baiknya pelindung dan penolong.

***


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: