Kamis, 27 Oktober 2016

TELELOVE 87

PUTRI. 28
PANGERANKU!






.”Qonita!” terdengar seseorang memanggilku dari bawah. Aku bisa melihatnya, sekalipun dia mengenakan baju over all seragam karyawan di sini, tapi aku  dapat mengenalinya.
            “Yusuf? Kaukah itu? Yusuf!” kataku. Syukurlah, aku sangat gembira melihatnya. Sejenak aku lupa kami dalam situasi kekacauan.
            “Qonita! Turunlah!” teriak Yusuf.  Gesit sekali Yusuf  mengejar kami. Menggapai batang demi batang.
            “Pak Jan, tunggulah! Yusuf datang untuk menolongku.” Kataku di telinga pak Jan.
            “Jangan bodoh Qon, dia itu salah satu kaki tangan dokter Rut, dia sedang ‘mengejarmu’.” Pak Jan bicara disela tarikan nafasnya yang payah.
Pak Jan kini  mempercepat geraknya.
“Bagaimana mungkin? Kalau dia mau dia bisa menculikku kapan saja, karena dia tahu tempat sembunyiku selama ini.” Aku tentu saja tidak percaya, setelah semua file kebaikan dan kemalangan Yusuf  terpatri di otakku.
“Jangan bodoh Qon, tentu saja dia tak akan menculikmu! Karena selama ini kau selalu bersama si Boy.”
“Pak Jan, Apakah  manusia buatan  semacam Yusuf tak dapat mengalahkan si Boy?”
“Tentu saja. Qon”
“Jadi dimana si Boy sekarang? Bukankah ini semua tugas si Boy, pak Jan?”
“Dia ada dibalik kemudi helikopter itu, Qon. Kita pasti selamat.”
Kutengok Yusuf yang terpaut jarak beberapa batang pohon di bawah kami. Begitu gigihnya Yusuf bergerak mendekati kami. Kutengok lantai panggung diatasku. 
             “Qonita... turunlah, jauhilah Jan, dia akan mengambil anakmu, DEMI NAPSUNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN!” teriak Yusuf  sambil tetap bergerak.
            “Yusuf... kau tahu aku hamil?” Oh Tuhan! Jadi benar dia anak buah dokter Rut yang mengincar janinku.
            “Ya, dan banyak orang yang berkepentingan dengan janinmu, Qonita.” Jawab Yusuf, sepertinya dia tahu apa yang baru aku alami dengan dokter Rut.
” Pak Jan? Benarkah?” 
            “Dia telah membunuh dokter Rut!” Yusuf menunjuk pak Jan dengan geram.
            “Pak Jan menyelamatkan aku dari dokter Rut, Yusuf. Pak Jan membunuhnya karena dokter Rut tak mau melepaskan aku! Dia akan mengambil bayiku!” kucoba menjernihkan dialog yang mulai membuatku bingung
“Tidak, kau salah! Dokter Rut akan  menyelamatkanmu dari Jan!” Yusuf bicara dengan urat leher menegang.
            “Jangan percaya, Qonita! Mahluk jadi-jadian selain fisiknya gagal, pasti mentalnya juga mengalami kerusakan.” Pak Jan memotong pembicaraan kami.
            “Yusuf menderita kelainan mental?” suaraku terdengar ragu. Bagaimana mungkin mahluk yang selalu dipenuhi kebaikan, kehangatan, ramah ini mengalami kelainan? Dan kini dekat dengan Tuhannya mengalami gegar jiwa?
            “Yah tentu saja. Penderitaannya sebagai bahan percobaan para inohedonist yang menyebabkannya.” Tapi pak Jan menerangan alasan yang sangat masuk akal.
            “A-aku tak percaya...” kataku patah.
            “kenapa tidak? Jika dia berniat menolongmu, kenapa dia harus berlama-lama di rumah yatim piatu itu?” pak Jan memberikan pertanyaan sebagai jawaban. Ya untuk apa Yusuf tinggal di rumah Ratija tanpa muncul sekalipun di hadapanku, jika memang dia ingin menyelamatkan aku. Tak peduli, betapa canggihnya pertahanan sebuah android bernama Boy,
            “Qonita jangan percaya... aku percaya, hatimu begitu dipenuhi kebaikan, dan Allah  telah menunjukannya.” Yusuf bicara dengan gaya rayuan ibu Ratija. 
            “Untuk apa dia di rumah kami?” pertanyaan ini membuat aku masgul.
            “Haaa... kau pikir buat apa? Bayangkan seumur hidup dia ada di hutan buatan tanpa pasangan! Kau tahu artinya? Libidonya, naluri dasarnya mencari pembenaran.” Pak Jan bicara datar. Seolah kasus seperti ini sudah sangat biasa terjadi.
            “Maksud pak Jan?” apakah Yusuf di rumah ibu Ratija untuk memenuhi semua desakan biologisnya? Nafsu binatangnya? Karena separuh dirinya bukan manusia. Ya dia itu bukan manusia!
            “Dia itu semacam pedofilia yang menemukan syurga di rumah Yatim itu.” jawaban pak Jan tetap saja membuat aku tercekat, sekalipun kepalaku menduga hal yang sama.
            “Ti-tidak!”  aku tak ingin mempercayainya.
“Bohong.” Suara Yusuf  menimpahi dialog kami disela hingar bingar suara gemuruh dan sirine, dan alarm keamanan.”
            “Yusuf...” hal bodoh yang batal aku lakukan: meminta klarifikasi padanya.
            “Cepat lepaskan tanganmu! Loncatlah kemari!” perintah Yusuf segera dengan gaya  siap menerima jatuh tubuhku.
            “Hahaha... kau masih percaya dia?”pak Jan tertawa mengejek. Seolah kami sedang melawak.
            “Jadi kenapa aku harus percaya padamu?”tanyaku penuh ragu. Aku harus berusaha objektif bukan? Harus mengumpulkan semua bukti dan pernyataan, untuk dapat mengambil keputusan yang tepat.
            Oh-oh! Haloooo otak bodoh! Ini sedang situasi darurat! Kupaksa pasir diotakku diam sejenak.
            “Apa? Apa kau meragukan aku? Setelah lamaranku? Harapanku atasmu? Perlindunganku selama ini? Bantuanku terhadap rumah Yatim Ratija? Penolakanku terhadap Maya. Apa kau belum mengerti juga? Semua itu tak akan aku lakukan jika aku tak punya perasaan apapun padamu.” Suara pa Jan mengiringi geraknya yang lincah merayapi tangkai, dan suluran pohon Liana.
            “Ma-maafkan saya pak.” Apa yang pak Jan katakan begitu ‘bulat’ di benakku. Aku butuh bukti apa lagi? Bahwa aku bersandar pada punggung yang tepat.
            Maksudku: bahwa aku bersama dengan  orang yang tepat.
            “Tanyakan pada Jan, Kenapa dia membawamu ke sini? memaksakan kelahiran prematur bayi kembarmu, Qonita!” teriak Yusuf  dari bawah.
            “Karena hanya klinik inilah yang paling canggih! Dan tentu saja karena aku mengutamakan keslamatanmu.” Pak Jan menjawab tanpa diminta.
            “Karena Janlah otak segalanya. Hanya di pusat riset B-Go disinilah, catatan biologismu tersimpan rapih! Jan juga  tahu semua tentang hutan buatan ini.  Dia sudah tahu pintu menuju atapnya. Bagaimana mungkin dia tahu jalan-jalan di sini bila bukan karena dia telah terbiasa di tempat ini? Bahkan mungkin dia salah satu perancangnya! Dialah yang bertanggungung jawab atas kehamilanmu! Bayimu adalah anakku, Qonita! Kita hanyalah kelinci percobaannya.”suara Yusuf terdengar begitu jelas.
            “Qonita, dengar! Tahukah kau Seekor manusia buatan  begitu pandai berimajinasi ditengah kerusakan otak dan kecacatan mentalnya!” Jan bicara sambil menggapai pintu bagian atas .         Tangannya dibantu seseorang dari atap sana
Tapi Yusuf menghalanginya dengan cara memegangi  kaki pak Jan  dan dia mulai bergantung di kaki pak Jan.
            “Qonita turunlah! demi anak yang kau kandung, dan kebenaran yang nyata...” perintah Yusuf . Tangannya mencoba menggapaiku.
            “Tembak dia!” peritah pak Jan pada seseorang diatas sana.
            Tidak! Jangan ada lagi pembunuhan. aku segera merayap turun. Aku menyisih di dahan yang lain. Aku lihat Yusuf bergoyang-goyang membuat gerak ayunan. Hingga beberapa peluru berdesing meleset disamping tubuhnya.
            “Lepaskan kakiku, Binatang!” teriak Jan kalap.
            “Qon! Turunlah!” pinta Yusuf lagi.
            “Selamatkan gadis  ini!” perintah Jan pada orang yang diatas sana.
            “Akulah ayah anak itu Qonita! Aku kabur dari sini dan mencarinya selama pelarianku.”
            Deg! Situasi bertempo cepat ini seolah mengalami pouse untuk beberapa saat.
            “Apa?!” tanyaku. Spontan kulepaskan tangan penolongku yang di atas.   Kuputuskan menjauhkan diri dari pak Jan.
            “Hahaha! Dasar gila! Bagaimana mungkin seekor manusia buatan yang steril mempunyai anak? Oh, Qonita apa yang kau lakukan?” Kini pak Jan bergerak berusaha menggapaiku. Tentu saja aku harus berhati-hati dalam situasi membingungkan ini.
            Dengan Sigap Yusuf mencuri kesempatan ini untuk memukul Jan. Maka pertarungan di lantai kayu ini pun mulai berlangsung.
            “Qonita! Turunlah terus, dari pohon ini, di sebelah kanan kau akan menemukan gorong-gorong pembuangan air sungai buatan, ikuti saja arusnya, kau akan selamat! Ceritakan  pada dunia apa yang terjadi di sini!” perintah Yusuf cukup jelas, padahal dia sambil meloncat ke sana ke mari menghindari tendangan dan tinju pak Jan.
            Yusuf adalah ayah anakku! Oh Tuhan! Aku percaya begitu saja. Mungkin ini yang disebut ‘kimia’ itu. Aku si radikal bebas, dan Yusuflah atom yang mengikatku.
            Jadi aku pun turun sesuai denganm perintah Yusuf.
            “Kejar anak itu!” kudengar  Jan memberi perintah pada orang-orang di atas. Para begundalnya. Oh Tuhan! Selamatkan aku… selamatkan…

***



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: