Jumat, 07 Oktober 2016

TELELOVE 77

PANGERAN. 24

MENYUSUN KEPINGAN PUZZLE


Bagai badai dari neraka, dengan petir yang melecut-lecut, kudengar semua cerita yang disampaikan dengan terbata-bata oleh dokter Rut. Aku harus maklum, dokter Rut pasti menata ceritanya agar tidak keluar berantakan seperti berondong jagung dalam panci yang kepanasan.
            Aku sendiri mencoba menahan diriku agar tak mengelupas sembarangan saat mendengar cerita darinya. Aku tak sabar lagi dengan prolog ceritanya yang telah aku ketahui.
            “Katakan saja! Siapa gadis itu?”
            “Kau tidak mengenalnya.”
            “Aku bisa mencarinya.”
            “Namanya Qonita dia...”
            Identitas selanjutnya tentang gadis itu membuat aku terkejut. Benarkah Qonita ‘itu’ yang dokter Rut maksud? Ingin sekali aku tak mempercayainya, tapi segala identitas detil begitu cocok dengan gadis bernama Qonita dari rumah ibu Ratija.
            “Kami melakukan kesalahan seharusnya pada saat menculik Qonita, hanya sel telurnya saja yang kami ambil. Seorang gadis lain telah disiapkan dengan prosedur legal untuk diinokulasi oleh embrionya. Pada hari yang sama.”
            “Ternyata, gadis itu sampai hari ini tidak hamil, dan kami menyadari ada kesalahan yang terjadi.”
            “Padahal kami telah membayar tunai dan mahal pada ayah si gadis calon ibu tumpangnya  untuk perawatan dan beban fisik dan moral yang akan disandang selama masa kehamilan.”
            “Apa gadis itu Wanda?” aku hanya menebaknya saja. Nama itu melintas dikepalaku.
            “Ah! Kau tahu?! pihak Yayasan mengejarnya untuk memastikan uangnya kembali. Tapi nampaknya tidak berhasil. Gadis itu hilang seperti ditelan bumi.”
Kepalaku berdenyut, jantungku berdebar, sepertinya cerita masih sulit aku cerna, terutama karena hatiku kini telah berbeda dengan masa aku ‘di hutan buatan’ dahulu. Siapa yang menyangka bahwa aku adalah ayah dari bayi yang dikandung Qonita? Apa aku harus gembira? Karena ternyata kami terikat dengan cara yang ajaib. Aku yakin inilah kehendak Tuhan yang membuatku sedikit lega.
Sekaligus cemas. Bagaimana mungkin gadis semungil Qonita mengandung? Dan dia selama ini menutupinya dari keluarga ibu Ratija? Qonita pasti ingin menyimpan penderitaan dan kesulitannya sendiri saja, tanpa mengganggu keluarga ibu Ratija.
Qonita pasti telah mempertimbangkan segala dampak yang terjadi bila keluarga  ibu Ratija. Dia mungkin harus keluar kerja karena terikat kontrak yang menyatakan, perusahaan tidak mempekerjakan pegawai baru yang hamil. Sementara dia dan keluarga besar juga harus menanggung beban sosial akibat kehamilan ‘di luar nikah’ terutama dengan ketakjelasan ayah biologis janin yang dikandungnya.
 Lalu kurasakan sekujur tubuhku gatal.
            “Dokter, bisakan aku meminta suntikan untuk mengelupas?”
            “Kau...? bukankah kau sudah bisa mengatasinya sendiri...?”
            “Dok!”
            “Buktikan, bahwa kau benar-benar manusia baru yang tidak tergantung pada obat.”
            Dasar ilmuwan maniak! Dokter Rut memang keterlaluan. Percuma aku mengharapkan pertolongannya, sebagai manusia.
            Jangan-jangan, kini aku lebih manusiawi dibanding dia!
            Maka akupun mengatur nafasku, mengatur jiwaku dengan lantunan Almatsurat. Kupasrahkan segalanya. Kutahan gatalku, kulemaskan ketegangan ototku. Aku lihat urat-urat tangan yang semula menonjol tegang, kini menyembunyikan diri lebih dalam. Sisikku berhasil menahan dirinya untuk meluruh.
            Aku menatap dokter Rut yang cemas. Hah, dia cemas, tapi dia ‘membiarkan aku’.
            “Hmmm... kau kenal gadis itu?”
            “Aku akan mencarinya, dan membawanya lari.”
            “Untuk apa? Bagaimana caranya? Apa kau mampu?”
            “Dokter pasti tahu jawabannya.”
            Dokter Rut diam menatapkau tajam, detik berikutnya pandangan matanya menunjukan dia terkejut. Cerah. Bening. Syukurlah, aku yakin, dibalik ketaknormalannya selaku seorang ilmuwan, dia pasti seorang baik yang masih memiliki nurani.
            “Benar! Aku akan mendukungmu! Aku tak mau kesalahanku mengurungmu terulang lagi kini. Aku bersyukur kau bebas.”
            Akupun menarik nafas lega dan tersenyum. Dia tersenyum, dan menangis!
            “Aku... aku tak menyangka pelarianmu  mengubah dirimu, menjadi seorang ksatria yang cerdas, berani, dan baik hati! Apakah ini karena...”
            “Ini karena kehendak Tuhan, dan bantuan seorang wanita miskin, tapi kaya jiwanya.” Kataku cepat menahan dokter Rut menyombongkan diri dan  mengatakan –proses rekayasa ilmiah- yang memungkinkan semua ini terjadi.
            “Oh... dan jawabnmu begitu –beragama-?!”
            Bip! Telpon genggam dokter Rut berbunyi, mengejutkan kami.
            “Oh? Bagaimana? Ya? Mungkin bisa. Bawa saja dia, kita akan usahakan keduanya selamat. Ya! Kau akan dapatkan keduanya!” Dokter Rut menutup telpon genggamnya lalu menatapku lama. Membuatku cemas menanti kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.
            “Qonita dalam perjalanan ke sini.”
            Allahu akbar!

***



bersambung

Tidak ada komentar:

Translator: