PANGERAN. 24
MENYUSUN KEPINGAN PUZZLE
Bagai badai dari neraka, dengan
petir yang melecut-lecut, kudengar semua cerita yang disampaikan dengan
terbata-bata oleh dokter Rut. Aku harus maklum, dokter Rut pasti menata
ceritanya agar tidak keluar berantakan seperti berondong jagung dalam panci
yang kepanasan.
Aku
sendiri mencoba menahan diriku agar tak mengelupas sembarangan saat mendengar
cerita darinya. Aku tak sabar lagi dengan prolog ceritanya yang telah aku
ketahui.
“Katakan
saja! Siapa gadis itu?”
“Kau
tidak mengenalnya.”
“Aku
bisa mencarinya.”
“Namanya
Qonita dia...”
Identitas
selanjutnya tentang gadis itu membuat aku terkejut. Benarkah Qonita ‘itu’ yang dokter Rut maksud? Ingin
sekali aku tak mempercayainya, tapi segala identitas detil begitu cocok dengan
gadis bernama Qonita dari rumah ibu Ratija.
“Kami
melakukan kesalahan seharusnya pada saat menculik Qonita, hanya sel telurnya
saja yang kami ambil. Seorang gadis lain telah disiapkan dengan prosedur legal
untuk diinokulasi oleh embrionya. Pada hari yang sama.”
“Ternyata,
gadis itu sampai hari ini tidak hamil, dan kami menyadari ada kesalahan yang
terjadi.”
“Padahal
kami telah membayar tunai dan mahal pada ayah si gadis calon ibu
tumpangnya untuk perawatan dan beban fisik
dan moral yang akan disandang selama masa kehamilan.”
“Apa
gadis itu Wanda?” aku hanya menebaknya saja. Nama itu melintas dikepalaku.
“Ah!
Kau tahu?! pihak Yayasan mengejarnya untuk memastikan uangnya kembali. Tapi
nampaknya tidak berhasil. Gadis itu hilang seperti ditelan bumi.”
Kepalaku berdenyut, jantungku
berdebar, sepertinya cerita masih sulit aku cerna, terutama karena hatiku kini
telah berbeda dengan masa aku ‘di hutan
buatan’ dahulu. Siapa yang menyangka bahwa aku adalah ayah dari bayi yang
dikandung Qonita? Apa aku harus gembira? Karena ternyata kami terikat dengan
cara yang ajaib. Aku yakin inilah kehendak Tuhan yang membuatku sedikit lega.
Sekaligus
cemas. Bagaimana
mungkin gadis semungil Qonita mengandung? Dan dia selama ini menutupinya dari
keluarga ibu Ratija? Qonita pasti ingin menyimpan penderitaan dan kesulitannya
sendiri saja, tanpa mengganggu keluarga ibu Ratija.
Qonita pasti telah
mempertimbangkan segala dampak yang terjadi bila keluarga ibu Ratija. Dia mungkin harus keluar kerja
karena terikat kontrak yang menyatakan, perusahaan tidak mempekerjakan pegawai
baru yang hamil. Sementara dia dan keluarga besar juga harus menanggung beban
sosial akibat kehamilan ‘di luar nikah’ terutama dengan ketakjelasan ayah
biologis janin yang dikandungnya.
Lalu kurasakan sekujur tubuhku gatal.
“Dokter,
bisakan aku meminta suntikan untuk mengelupas?”
“Kau...?
bukankah kau sudah bisa mengatasinya sendiri...?”
“Dok!”
“Buktikan,
bahwa kau benar-benar manusia baru yang tidak tergantung pada obat.”
Dasar
ilmuwan maniak! Dokter Rut memang keterlaluan. Percuma aku mengharapkan
pertolongannya, sebagai manusia.
Jangan-jangan,
kini aku lebih manusiawi dibanding dia!
Maka
akupun mengatur nafasku, mengatur jiwaku dengan lantunan Almatsurat.
Kupasrahkan segalanya. Kutahan gatalku, kulemaskan ketegangan ototku. Aku lihat
urat-urat tangan yang semula menonjol tegang, kini menyembunyikan diri lebih
dalam. Sisikku berhasil menahan dirinya untuk meluruh.
Aku
menatap dokter Rut yang cemas. Hah, dia cemas, tapi dia ‘membiarkan aku’.
“Hmmm...
kau kenal gadis itu?”
“Aku
akan mencarinya, dan membawanya lari.”
“Untuk
apa? Bagaimana caranya? Apa kau mampu?”
“Dokter
pasti tahu jawabannya.”
Dokter
Rut diam menatapkau tajam, detik berikutnya pandangan matanya menunjukan dia
terkejut. Cerah. Bening. Syukurlah, aku yakin, dibalik ketaknormalannya selaku
seorang ilmuwan, dia pasti seorang baik yang masih memiliki nurani.
“Benar!
Aku akan mendukungmu! Aku tak mau kesalahanku mengurungmu terulang lagi kini.
Aku bersyukur kau bebas.”
Akupun
menarik nafas lega dan tersenyum. Dia tersenyum, dan menangis!
“Aku...
aku tak menyangka pelarianmu mengubah
dirimu, menjadi seorang ksatria yang cerdas, berani, dan baik hati! Apakah ini
karena...”
“Ini
karena kehendak Tuhan, dan bantuan seorang wanita miskin, tapi kaya jiwanya.”
Kataku cepat menahan dokter Rut menyombongkan diri dan mengatakan –proses rekayasa ilmiah- yang memungkinkan semua ini terjadi.
“Oh...
dan jawabnmu begitu –beragama-?!”
Bip! Telpon genggam dokter Rut berbunyi,
mengejutkan kami.
“Oh?
Bagaimana? Ya? Mungkin bisa. Bawa saja dia, kita akan usahakan keduanya
selamat. Ya! Kau akan dapatkan keduanya!” Dokter Rut menutup telpon genggamnya
lalu menatapku lama. Membuatku cemas menanti kata-kata yang akan keluar dari
mulutnya.
“Qonita
dalam perjalanan ke sini.”
Allahu
akbar!
***
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar