Jumat, 28 Oktober 2016

TELELOVE 89

PUTRI 28


PANGERAN




“Aku tak percaya! Dia yang membuatmu seperti ini.”
            “Dia yang membuat ‘otakku’ berbeda dengan manusia buatan lainnya. Tuhanlah yang menemukan cara revolusi berpikirnya melalui ibu Ratija dan sembilan adik-adikmu.”
            “Aku tak mengerti. Lalu pak Jan? apa hubungannya?” maksudku: aku sangat menyesal telah menyuruhnya meminum urineku!
            “Dia meyakini, bahwa kepandaianku terletak pada DNA yang bisa aku wariskan. Dia tak percaya, bahwa dokter Rut dan teman-temannya hanya mengotak-ngatik bagian protein otak saja.”
            “Aku tak mengerti.” Anehnya, pasir di otakku tak membadai bingung seperti biasanya bila mendapatkan materi yang sulit dicerna oleh otak.
            “Kau tahu, otak terdiri dari ribuan  sel otak yang dihubungkan oleh sel-sel saraf. Kecepatan kita berpikir ditentukan oleh cara bagaimana sel-sel saraf ini merespon. Jika diibaratkan informasi yang masuk ke otak adalah mobil-mobil, maka terlalu banyak informasi yang masuk, bisa saja terjadi kemacetan. Akhirnya informasi yang masuk, yang seharusnya direspon dengan cepat, akan menjadi sia-sia.”
            Sebentar dia menunjukan gambar skemanya di layar penyerentan. Jari-jarinya menari- menggambarkan skema sel syaraf yang saling terhubung. Aku sedikit mengerti. Aku hanya mengangguk.
            “Dokter Rut memberikan ide, membuat jalan layangnya! Hingga semua informasi yang diterima bisa direspon dengan baik.”
            “Hah...? ba-bagaimana caranya? Dia melakukannya padamu?” oh aku sungguh sangat menyesal telah menuduhnya penjahat, dan menghukumnya dengan jus apel bohongan itu.
            “Tapi selain itu saat peta genetisku diidentifikasi, ternyata, hal yang sama terjadi pada kromosomku.”
            “A-apa?”
            “kita selalu tak tahu cara kerja Tuhan, bukan?”
            “Jadi  pak Jan menginginkan anakmu?”
            “Cara judi yang bodoh, mengingat pemilihan ibu yang tak jelas.”
            “Kau?” aku menggigit bibir. Rasa tak enakku cepat menjadi tawar saat melihat seringainya. Yusuf menggodaku!
            “Qonita, kau dan aku bukankah sama tak jelasnya? Tak ada teori yang bisa membuktikan dari ibu A dan bapak B akan menjadi anak yang AB.”
            Aku diam. Rasanya sulit dipercaya bahwa aku sedang berdiskusi dengan mantan  manusia buatan penghuni hutan buatan yang dulu bisu, primitif, dan mungkin super tolol.
            “Maksudmu?”
            “Anak kita bisa jadi apa saja. Itu semua tergantung dari bagaimana kita membesarkannya, mendidiknya, dan memberinya banyak kasih sayang.”
            “Ki-ta?” telunjukku menujuk padaku lalu padanya.
            “Hahahaha... kita! Setelah kau melahirkan, kita baru akan menikah secara resmi.”
            “Apa?”
            “Aku tahu syariatnya. Apa kau punya pilihan lain? Seseorang setampan Jan?”
            “Tidak!” cepat sekali aku menjawabnya.
            “Oh! Kau tak perlu berteriak, kita sedang sembunyi... ssssttt..”
            “Sampai kapan kita sembunyi?”
            “Setengah jam saja. Sampai polisi negara mengamankan tempat itu. dan siapkan dirimu untuk melakukan jumpa pers.”
            “Haaaah?”
            “Aku telah mengirimkan semua file rahasia riset unggulan B-Go ke LPKEI, Lembaga Pertimbangan Kode Etik Intelektual. Lembaga yang menjaga riset-riset yang sensitif terhadap permasalahan social,  kemanusiaan dan agama. Seperti yng dilakukan oleh B-Go.”
            “Ba-bagaimana caranya?” aku masih tak percaya semua berlangsung sangat cepat.
            “Dengan ini.”  Yusuf menunjukan telpon genggamnya. “Seperti kau melakukan pengiriman konsepmu, sampai gambar, data hasil survei ke komputer perusahaanmu.”
            “Semudah itu? bukankah kau harus mengetahui kata sandinya.”
            “Karena dokter Rutlah, aku bisa memecahkan kata sandinya.” Dia mengetuk kepalanya.
            Oh! Astagfiruloh, ampun Tuhan, aku sangat jahat pada seorang lelaki tua yang ‘merancang’ ayah anakku.
            “Haloooo? Ada orang di dalam?” tiba-tiba seseorang memanggil kami di mulut gua tempat kami bersembunyi.
            “Oh, Qonita, mereka memanggil kita.” Yusuf bangkit dan menarikku berdiri. Dia terus menggenggam tanganku. Ada perasaan aman, dan tenang digenggam tangan bersisik seperti ini.
            “Bagaimana kau yakin mereka adalah penolong kita.” Bisikku.
            “Mereka menemukan kita karena aku memberi peta rahasia lewat satelit rahasia mereka.”
            “Pak Yusuf? Syukurlah, kepala Keamanan Negara  langsung menjemput anda di sini.” seseorang memanggil namanya dengan nada ‘hormat’. Bukan nada meleceh seperti biasanya yang kaum manusia buatan dapatkan.
            “Qonita, kita harus bersiap diri untuk jumpa pers, hanya siaran inilah yang akan membuat ibu Ratija, dan adik-adik kita tidak cemas lagi, tapi ini menjadi gembira, dan bahagia.” Bisiknya penuh keyakinan.
            “Oh?”
            Kurasakan genggaman tangan Yusuf bertambah erat dan hangat.
***

           
             
           

 BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Translator: