PUTRI 25
TIPUAN NAKAL
“Ya, kita tunggu reaksinya
beberapa saat lagi.” Kata dokter Rut.
Maksudnya
apa? Menunggu aku diserang kesakitan yang membadai?
Hingga aku menjerit pasrah:’ keluarkan
bayi ini! Persetan aku tak peduli lagi. Aku tak kuat lagi dengan nyerinya!’
“
Qon, bersiaplah...!” pak Jan menyapu keringat dingginku di atas hidungku dan
daguku. Dia mengambilkan aku jus apel lagi. Kusesap, oh, pak Jan telah
mencampurnya dengan madu. Sungguh suami yang
baik, calon ayah yang bertanggung
jawab. Ibu Ratija aku mohon doa restumu atas hubungan kami. Oh... oh...
Bagaimana mungkin aku
mencurigainya hanya karena dia membawaku kepada dokter Rut? Ding! Dong! Pasir di kepalaku
bergelombang, membuat pertanda pikiranku terlalu menyimpang dari keadaan darurat.
Berpikirlah!
Berpikirlah yang normal! Berkonsentrasilah! Oh Tuhan, kenapa Kau ciptakan pasir
di otakku yang selalu ribut dan kurang harmonis?
Tuhan!
Jangan biarkan dokter Rut dan korporasi sialannya mengambil anakku!
“Baiklah, nona Qonita, kami harus memeriksa urinemu dahulu.” Seorang perawat
datang menghampiri kami lengkap dengan botol sampling.
“Baiklah.”
Aku bangun mengambil botol sampling urine. Sementara tanganku yang lain mengisi
sakuku dengan botol jus apel.
Kutatap
diriku di cermin kama r mandi. Begitu
berantakan. Kusesap jus apelku, berharap rasa dingin mengguyur pasir panas yang
bergejolak di kepalaku. Di cermin itu aku menemukan lagi senyum iblisku.
Aku
isi botol sampling urineku dengan jus apel bermadu itu. Lalu aku isi botol jus
apel bermadu itu dengan urine ku. Bismillah, ya Tuhan, setidaknya rencana ini
dapat ‘mengulur’ waktuku walau hanya beberapa saat saja. Mungkin. Minimal aku
bisa membalaskan dendam Yusuf pada dokter Rut!
Aku
baru ingat, Infusnya! Infusnya! Pasir di otakku berteriak padaku, menyuruhku
melakukan sesuatu dengan infusnya.
Dokter
atau perawat pasti akan menyuntikan
senyawa induksi, semacam perangsang, agar kontraksi dinding rahimku semakin
kuat, hingga aku cepat melahirkan. Jadi aku harus melakukan sesuatu dengan
infus ini. Tanpa membuka perbannya, aku copot jarum yang menusukku. Kumatikan
aliran pada pipa infus dengan mengunci klepnya.
Saat
aku ke luar dari kamar mandi, aku lihat mereka, suster, dokter Rut, dan pak Jan
yang sedang mengbrol itu tiba-tiba diam. Benar-benar mencurigakan.
“Silahkan
suster.” Kuberikan botol samplingku. “Oh, tapi sepertinya ini terlalu penuh ya?
Sedikit juga cukup kan ?”
aku membuka tutup botol sampling urine, dan kuseruput isinya.
Kunikamati
wajah-wajah terkejut dihadapanku. Hahaha.
Pasir di otakku bersorak.
Suster
itu masih melongo saat kuserahkan botol sampling urineku. Lalu dengan gugup dia
mundur, dan segera ke luar dari ruangan ini.
“Baiklah,
kukira, kita harus tunggu perkembangannya malam ini. Aku akan menyuntikan obat
penguatnya saja. Semoga tidak akan ada kontraksi lagi.” Dokter Rut mengeluarkan
alat suntik yang dari tadi dia sembunyikan di sakunya.
Ha?
Suntikan penguat rahim maksudnya? Aku tak kan tertipu!
“Tidurlah
yang nyenyak, kau sangat membutuhkan istirahat.” Kata dokter Rut setelah selesai menyuntikan
obatnya ke dalam aliran infus. Sesaat dokter Rut menatapku ragu. Matanya seolah
mengirimkan kata-kata. Tapi aku tak mengerti sama sekali. Apa dia menyadari
bahwa infusnya sudah aku matikan alirannya? benarkah? Lalu kenapa dia diam
saja? Semoga dia tak menyadari bahwa aliran infusnya sudah kumatikan.
“Pak
Jan, pulanglah! Percayakan saja semuanya pada kami.” Kata dokter Rut lagi
menengok ke arah pak Jan.
“Tidak,
aku akan menunggu ‘anak-anakku’.”
Sahut pak Jan. Membuat perasaanku menjadi sukar digambarkan. Sadarlah! Sadarlah! Kau harus waspada! Bukan
melayang! Mabuk kepayang!
“Kehadiranmu,
membuat ibu dari ‘anak-anakmu’ tak bisa beristirahat Jan.” dokter Rut menengok
ke arahku. Pandangannya, sukar aku mengerti. Aku yakin, dia ingin
mengatakan sesuatu.
“Benar!”
spontan aku setuju dengan dokter Rut.
Aku
harus sendiri. Aku harus berpikir
bagaimana caranya kabur dari sini. Kalau ada pak Jan di sini, semua pasti
bertambah sulit.
“Bip-bip-bip...” penyerenta pak Jan dan dokter
Rut bersamaan berbunyi.
Keduanya
membuat gerakan saling membelakangi. Pak Jan ke arah teras kamar, sedang dokter
Rut bicara di depanku tanpa takut aku menguping pembicaraannya.
Haaa,
tentu saja dia tak tahu penyakit ‘tukang’
nguping para gadis seusiaku.
“Oh?...
dimana?....Hutan? ....Kenapa?.... Jangan. khawatir... proses perlindungangannya
akan bekerja secara otomatis. Yaya...”
“Maaf
Qonita... aku harus segera pergi.”
“Dokter,
bawalah ini, tadi pak Jan menambahkan madu di dalamnya.” Kuberikan kaleng jus
apel yang kegenggam sejak dari tadi.
Tanpa
prasangka, dokter Rut menerima kaleng itu. “Terima kasih Qonita.” Setelah itu
dia pergi tergesa. Dari pintu yang terbuka, aku bisa melihat dokter Rut itu meminum ‘air’ dalam botol jus apel yang
dia ambil terburu-buru. Aku lihat dokter Rut
tersedak. Bingung. Wajahnya... oh andai aku merekamnya! Ya Tuhan,
seharusnya aku malu! Apa yang telah aku lakukan? Oh ya aku baru saja balas
dendam! Hampir puas rasanya.
Selintas wajah bu Ratija melintas dalam benakku.
‘itu adalah cara paling bengis dan najis
Qonita.’ Ah, biar saja. Sudah terlanjur.
Kutengok ke arah teras, nampak
pak Jan sedang bicara serius, seperti biasanya. Aku selalu penasaran apa yang
terjadi bila sehari saja dia tak membawa penyerentanya?
Waktu
aku mendekati pak Jan, aku hanya mendapat ujung kalimat seriusnya. ”Lakukan
protokol keamanan istimewa. Yang di dalam sana
adalah orang-orang penting. Kita tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada
mereka. Nama perusahaan ini dipertaruhkan di dalam sana .”
Begitu dia melihatku
menghampirinya, dia langsung menutup telpon genggamnya.
“Apa pak Jan meninggalkan hal
penting?”
“Ya.
Maaf Qon, sepertinya aku harus ke luar. Aku akan kembali lagi begitu semua urusan di luar beres.” Pak Jan
menarik nafas. Diam sejenak, menatapku cemas. Lenguhan panjang keluar dari
mulutnya. “Oh, Qonita… bertahanlah!” Dia menyentuh daguku tanpa ragu.
Sentuhannya membuat seluruh tubuhku kaku.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar