Selasa, 11 Oktober 2016

TELELOVE 81


PUTRI 25


TIPUAN NAKAL




“Ya, kita tunggu reaksinya beberapa saat lagi.” Kata dokter Rut.
            Maksudnya apa? Menunggu aku diserang kesakitan yang membadai? Hingga aku menjerit pasrah:’ keluarkan bayi ini! Persetan aku tak peduli lagi. Aku tak kuat lagi dengan nyerinya!’
            “ Qon, bersiaplah...!” pak Jan menyapu keringat dingginku di atas hidungku dan daguku. Dia mengambilkan aku jus apel lagi. Kusesap, oh, pak Jan telah mencampurnya dengan madu. Sungguh suami yang baik, calon ayah yang bertanggung jawab. Ibu Ratija aku mohon doa restumu atas hubungan kami. Oh... oh...
Bagaimana mungkin aku mencurigainya hanya karena dia membawaku kepada dokter Rut? Ding! Dong! Pasir di kepalaku bergelombang, membuat pertanda pikiranku terlalu menyimpang dari keadaan darurat.
            Berpikirlah! Berpikirlah yang normal! Berkonsentrasilah! Oh Tuhan, kenapa Kau ciptakan pasir di otakku yang selalu ribut dan kurang harmonis?
            Tuhan! Jangan biarkan dokter Rut dan korporasi sialannya mengambil anakku!
“Baiklah, nona Qonita, kami harus memeriksa urinemu dahulu.” Seorang perawat datang menghampiri kami lengkap dengan botol sampling.
            “Baiklah.” Aku bangun mengambil botol sampling urine. Sementara tanganku yang lain mengisi sakuku dengan botol jus apel.
            Kutatap diriku di cermin kamar mandi. Begitu berantakan. Kusesap jus apelku, berharap rasa dingin mengguyur pasir panas yang bergejolak di kepalaku. Di cermin itu aku menemukan lagi senyum iblisku.
            Aku isi botol sampling urineku dengan jus apel bermadu itu. Lalu aku isi botol jus apel bermadu itu dengan urine ku. Bismillah, ya Tuhan, setidaknya rencana ini dapat ‘mengulur’ waktuku walau hanya beberapa saat saja. Mungkin. Minimal aku bisa membalaskan dendam Yusuf pada dokter Rut!
            Aku baru ingat, Infusnya! Infusnya! Pasir di otakku berteriak padaku, menyuruhku melakukan sesuatu dengan infusnya.
            Dokter atau perawat  pasti akan menyuntikan senyawa induksi, semacam perangsang, agar kontraksi dinding rahimku semakin kuat, hingga aku cepat melahirkan. Jadi aku harus melakukan sesuatu dengan infus ini. Tanpa membuka perbannya, aku copot jarum yang menusukku. Kumatikan aliran pada pipa infus dengan mengunci klepnya.
            Saat aku ke luar dari kamar mandi, aku lihat mereka, suster, dokter Rut, dan pak Jan yang sedang mengbrol itu tiba-tiba diam. Benar-benar mencurigakan.
            “Silahkan suster.” Kuberikan botol samplingku. “Oh, tapi sepertinya ini terlalu penuh ya? Sedikit juga cukup kan?” aku membuka tutup botol sampling urine, dan kuseruput isinya.
            Kunikamati wajah-wajah terkejut dihadapanku. Hahaha. Pasir di otakku bersorak.
            Suster itu masih melongo saat kuserahkan botol sampling urineku. Lalu dengan gugup dia mundur, dan segera ke luar dari ruangan ini.
            “Baiklah, kukira, kita harus tunggu perkembangannya malam ini. Aku akan menyuntikan obat penguatnya saja. Semoga tidak akan ada kontraksi lagi.” Dokter Rut mengeluarkan alat suntik yang dari tadi dia sembunyikan di sakunya.
            Ha? Suntikan penguat rahim maksudnya? Aku tak kan tertipu!
            “Tidurlah yang nyenyak, kau sangat membutuhkan istirahat.”  Kata dokter Rut setelah selesai menyuntikan obatnya ke dalam aliran infus. Sesaat dokter Rut menatapku ragu. Matanya seolah mengirimkan kata-kata. Tapi aku tak mengerti sama sekali. Apa dia menyadari bahwa infusnya sudah aku matikan alirannya? benarkah? Lalu kenapa dia diam saja? Semoga dia tak menyadari bahwa aliran infusnya sudah kumatikan.
            “Pak Jan, pulanglah! Percayakan saja semuanya pada kami.” Kata dokter Rut lagi menengok ke arah pak Jan.
            “Tidak, aku akan menunggu ‘anak-anakku’.” Sahut pak Jan. Membuat perasaanku menjadi sukar digambarkan. Sadarlah! Sadarlah! Kau harus waspada! Bukan melayang! Mabuk kepayang!
            “Kehadiranmu, membuat ibu dari ‘anak-anakmu’ tak bisa beristirahat Jan.” dokter Rut menengok ke arahku. Pandangannya, sukar aku mengerti. Aku yakin, dia ingin mengatakan  sesuatu.
            “Benar!” spontan aku setuju dengan dokter Rut.
            Aku harus sendiri. Aku harus  berpikir bagaimana caranya kabur dari sini. Kalau ada pak Jan di sini, semua pasti bertambah sulit.
            “Bip-bip-bip...” penyerenta pak Jan dan dokter Rut  bersamaan berbunyi.
            Keduanya membuat gerakan saling membelakangi. Pak Jan ke arah teras kamar, sedang dokter Rut bicara di depanku tanpa takut aku menguping pembicaraannya.
            Haaa, tentu saja dia tak tahu penyakit ‘tukang’ nguping para gadis seusiaku.
            “Oh?... dimana?....Hutan? ....Kenapa?.... Jangan. khawatir... proses perlindungangannya akan bekerja secara otomatis. Yaya...”
            “Maaf Qonita... aku harus segera pergi.”
            “Dokter, bawalah ini, tadi pak Jan menambahkan madu di dalamnya.” Kuberikan kaleng jus apel yang kegenggam sejak dari tadi.
            Tanpa prasangka, dokter Rut menerima kaleng itu. “Terima kasih Qonita.” Setelah itu dia pergi tergesa. Dari pintu yang terbuka, aku bisa melihat dokter Rut  itu meminum ‘air’ dalam botol jus apel yang dia ambil terburu-buru. Aku lihat dokter Rut  tersedak. Bingung. Wajahnya... oh andai aku merekamnya! Ya Tuhan, seharusnya aku malu! Apa yang telah aku lakukan? Oh ya aku baru saja balas dendam! Hampir puas rasanya.
 Selintas wajah bu Ratija melintas dalam benakku. ‘itu adalah cara paling bengis dan najis Qonita.’ Ah, biar saja. Sudah terlanjur.
Kutengok ke arah teras, nampak pak Jan sedang bicara serius, seperti biasanya. Aku selalu penasaran apa yang terjadi bila sehari saja dia tak membawa penyerentanya?
            Waktu aku mendekati pak Jan, aku hanya mendapat ujung kalimat seriusnya. ”Lakukan protokol keamanan istimewa. Yang di dalam sana adalah orang-orang penting. Kita tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Nama perusahaan ini dipertaruhkan di dalam sana.”            
Begitu dia melihatku menghampirinya, dia langsung menutup telpon genggamnya.
“Apa pak Jan meninggalkan hal penting?”

            “Ya. Maaf Qon, sepertinya aku harus ke luar. Aku akan kembali lagi  begitu semua urusan di luar beres.” Pak Jan menarik nafas. Diam sejenak, menatapku cemas. Lenguhan panjang keluar dari mulutnya. “Oh, Qonita… bertahanlah!” Dia menyentuh daguku tanpa ragu. Sentuhannya membuat seluruh tubuhku kaku.




BERSAMBUNG 

Tidak ada komentar:

Translator: