Rabu, 26 Oktober 2016

TELELOVE 85

PANGERAN. 27

KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN




Mataku menari-nari mencari sosok Qonita  ditengah lalu lalang orang yang berlarian tak menentu arah. Seingatku karyawan B-Go tidak terlalu banyak. Hanya beberapa puluh saja. Tapi kenapa saat ini sepertinya orang-orang yang panik dan penolong seolah menggandakan diri dan menjadikan jumlah yang hadir di lokasi ini begitu banyak?
            Bunyi sirine ambulan meraung-raung, tumpang tindih dengan sirine tanda bahaya, dan mobil pemadam kebakaran. Ditambah dengan bunyi helikopter yang berputar-putar diatas hutan buatan. Mungkin di hutan yang terbakar itu masih ada orang yang perlu diselamatkan.
            Ah! Pasti helikopter itu khusus menyelamatkan orang penting. Para pemburu itu pasti orang-orang kaya yang penting. Atau…Helikopter itu pasti menjemput Jan, dan pasti Qonita ada di sana juga!
            Aku harus cepat bergerak. Gang-gang, labirin-labirin pepohonan teh-tehan setinggi 2,5 m  yang dulunya dipakai untuk menguji kemajuan IQ ku, dan beberapa spesimen percobaan yang lain,  kini dapat aku lewati dengan mudah tanpa mengalami jalan buntu. Sepertinya ingatanku atas jalan-jalan ini keluar begitu saja di kepalaku. Ini pasti karena revolusi tingkat kecerdasanku. Padahal dulu waktu melakukannya aku mengalami kesulitan dan frustasi.
            Bersamaan dengan terbukanya peta jalan rumit ini dikepalaku, terbuka juga  sejarah kelamku. Di labirin pohon ini aku sering ‘dilepas’kan tanpa mengerti maksudnya. Pada belokan-belokan tertentu aku dapat menemukan hadiah-hadiah kesukaanku. Hingga hari- berikutnya aku dapat menghapal jalannya untuk menemukan hadiah itu..
            Tapi di hari lain  aku terbirit-birit lari dari kejaran carnivore buatan  yang mereka tempatkan di belokan-belokan kejutan. Sialan. Beberapa kali disaat tersudut seperti itu aku mengelupas, tanpa bisa ditahan. Karena aku berada dalam tekanan mental yang parah.
            Bisa jadi bila mereka mendapatkan anakku, maka anakku akan mengalami hal yang sama  denganku. Tes kesehatan rutin yang menyebalkan, uji mental rutin yang melelahkan, uji IQ, Uji fisik. Lalu bila hal ini sampai terjadi, bagaimana dengan perasaan Qonita, si gadis normal yang lembut hatinya?
            Di ujung labirin jebakan ini dapat ditemui beberapa pintu. Tapi yang aku hapal hanya pintu menuju hutan buatan. Begitu melihat pintunya, kutemukan asap mendesak, menyelusup ke luar dari sana melalui celah-celahnya. Apa separah itu kebakarannya?
            Sekuat tenaga kutendang pintunya, aku tak mau mengambil resiko dengan memegang tangkai pintunya yang pasti panas. Begitu pintu terbuka, beberapa hewan berlari linglung keluar, diiringi asap putih yang menyeruak memenuhi labirin. Kulihat di atas hutan buatan, helikopter terbang diam menunggu orang-orang merayapi tangga yang terjulur dari helikopter. Rupanya di atap hutan buatan juga dirancang untuk post penyelamatan darurat seperti ini.
***

Aku melihat bayangan yang kucari. Jan Rabiko menuntun Qonita. Dia dengan perkasa menaiki batang-batang pohon besar menuju pintu atas hutan buatan. Jan beberapa kali membantu Qonita untuk memanjati pohon-pohon. Luar biasa, Jan mampu membantu Qonita yang sedang dalam keadaan hamil. Rupanya Jan  telah menghapal protocol keamanan tercepat seperti ini. Buktinya dia telah ada di sana. Jan tidak menyelamatkan Qonita melalui jalan biasa, atau depan gedung. Tentu saja tidak! Karena di sana telah berkumpul para jurnalis yang lapar akan berita.
             “Qonita!” Spontan  aku memanggilnya.
            “Yusuf? Itu yusuf! Yusuf!” suara Qonita terdengar lemah, ragu, lalu yakin dan tegas. Aku bisa merasakan nada gembira dalam teriakannya.
            “Qonita! Turunlah!” teriakku. Ingin sekali aku memanjangkan tangan ini dan merebut Qonita dari rengkuhan lengan  Jan Rabiko. Tapi tak mungkin, karena kemampuanku   yang aneh cuma, mengelupas. Jarak kami terlalu jauh untuk aku gapai.
            Seperti dugaanku, Jan Rabiko mempercepat geraknya. Tak dapat kupercaya, kekuatan lelaki ini. Bolehlah dia itu ilmuwan tampan, kaya, pintar, digilai banyak wanita, penipu ulung tapi kenapa harus kuat juga? Bukankah tidak ada sempurna di dunia ini?
             “Qonita... turunlah, jauhilah Jan, dia akan mengambil anakmu, DEMI NAFSUNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN!” aku bicara sambil tetap bergerak. Telingaku bisa menangkap apa yang mereka bicarakan.
            “Yusuf... kau tahu aku hamil?”
            “Ya, dan banyak orang yang berkepentingan dengan janinmu, Qonita!”
            “Pak Jan? Benarkah?” suara Qonita lemah penuh keraguan.
            “Dia telah membunuh dokter Rut!” aku bingung memilih kata-kata darurat.
            “Pak Jan menyelamatkan aku dari dokter Rut, Yusuf. Pak Jan membunuhnya karena dokter Rut tak mau melepaskan aku! Dia akan mengambil janinku!” terdengar suara Qonita yang lemah. Tapi aku dapat mendengarnya, ya, ini karena daya dengarku lebih istimewa disbanding manusia kebanyakan.
            “Tidak, kau salah! Dokter Rut mau menyelamatkanmu dari Jan!” uratleherku menegang.
            “Jangan percaya, Qonita! Mahluk jadi-jadian yang fisiknya gagal, pasti mentalnya juga mengalami kerusakan.” Suara Jan berselang tarikan nafas
 Oh dasar Jan keparat! Begitu pandainya dia membolak balikan cerita.
            “Yusuf menderita kelainan mental?” Qonita begitu lemah.
            “Yah tentu saja. Penderitaannya sebagai bahan percobaan para ilmuwan adalah penyebabnya.” Suara meyakinkan  Jan Rabiko membuat gigiku gemelutuk.
            “A-aku tak percaya...” suara Qonita semakin lemah.
            “kenapa tidak? Jika dia berniat menolongmu, kenapa dia harus berlama-lama di rumah yatim piatu itu?” kini aroma hasutan suara Jan memaksa jiwa Qonita untuk setuju.
            “Qonita jangan percaya... aku percaya, hatimu begitu dipenuhi kebaikan, dan Allah  telah menunjukannya.” kucoba kugapai keraguan Qonita
            “Untuk apa Yusuf di sana?” tanya Qonita.
            “Haaa... kau pikir buat apa? Bayangkan seumur hidup dia ada di hutan buatan tanpa pasangan! Kau tahu artinya? Libidonya, naluri dasarnya mencari pembenaran.” Pak Jan bicara sambil menyeringai. Sial mahluk iblis itu!
            “Maksud pak Jan, apa?” Qonita bersuara semakin lemah. Kuatkan dirimu Qonita! Aku akan menyelamatkanmu!
            “Dia itu semacam pedofilia yang menemukan syurga di rumah Yatim itu.” Jan menaiki cabang pohon yang lain.
            “Ti-tidak!” Qonita jelas sekali tak ingin percaya.
            “Bohong.” Suaraku menimpahi kebohonganngannya disela hingar bingar suara gemuruh dan sirine, dan alarm keamanan.
            “Yusuf...” Qonita memanggilku.
            “Cepat lepaskan tanganmu! Loncatlah kemari!” pintaku segera dan siap menerima jatuh tubuhnya.
            “Hahaha... kau masih percaya dia?” tawa iblis Jan hah ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan gombal bau[1].
            “Jadi kenapa aku harus percaya padamu?”suara Qonita penuh ragu. Syukurlah, setidaknya dia sedang berusaha berpikir dari beberapa sudut. Tuhan, ‘pandaikan’ Qonitaku kali ini.
            “Apa? Apa kau meragukan aku? Setelah lamaranku? Harapanku atasmu? Perlindunganku selama ini? Bantuanku terhadap rumah Yatim Ratija? Penolakanku terhadap Maya. Apa kau belum mengerti juga? Semua itu tak akan aku lakukan jika aku tak punya perasaan apapun padamu.” Suara Jan mengiringi geraknya yang lincah merayapi tangkai, dan suluran pohon Liana. Sungguh aku takjub sekaligus iri atas kemampuannya memanjat, mengingat dia itu manusia normal, bukan manusia buatan sintesis sepertiku.
            “Tanyakan pada Jan, Kenapa Dia membawaku ke sini? Dan memaksakan kelahiran prematur bayi kembarmu, Qonita!” teriakku dari bawah sini. Oh, Tuhan kemanakah kemampuan memanjatku yang cepat itu?
            “Karena hanya klinik inilah yang paling canggih! Dan tentu saja karena aku mengutamakan keselamatanmu.” Jawab Jan langsung tanpa menunggu mulut Qonita bersuara.



BERSAMBUNG



[1] Kain bekas yang biasanya dipakai untuk lap/pel.

Tidak ada komentar:

Translator: