PANGERAN. 27
KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN
KERIBUTAN DI HUTAN BUATAN
Mataku menari-nari mencari sosok
Qonita ditengah lalu lalang orang yang
berlarian tak menentu arah. Seingatku karyawan B-Go tidak terlalu banyak. Hanya
beberapa puluh saja. Tapi kenapa saat ini sepertinya orang-orang yang panik dan
penolong seolah menggandakan diri dan menjadikan jumlah yang hadir di lokasi
ini begitu banyak?
Bunyi
sirine ambulan meraung-raung, tumpang tindih dengan sirine tanda bahaya, dan
mobil pemadam kebakaran. Ditambah dengan bunyi helikopter yang berputar-putar
diatas hutan buatan. Mungkin di hutan yang terbakar itu masih ada orang yang
perlu diselamatkan.
Ah!
Pasti helikopter itu khusus menyelamatkan orang penting. Para
pemburu itu pasti orang-orang kaya yang penting. Atau…Helikopter itu pasti
menjemput Jan, dan pasti Qonita ada di sana
juga!
Aku
harus cepat bergerak. Gang-gang, labirin-labirin pepohonan teh-tehan setinggi
2,5 m yang dulunya dipakai untuk menguji
kemajuan IQ ku, dan beberapa spesimen percobaan yang lain, kini dapat aku lewati dengan mudah tanpa
mengalami jalan buntu. Sepertinya ingatanku atas jalan-jalan ini keluar begitu
saja di kepalaku. Ini pasti karena revolusi tingkat kecerdasanku. Padahal dulu
waktu melakukannya aku mengalami kesulitan dan frustasi.
Bersamaan
dengan terbukanya peta jalan rumit ini dikepalaku, terbuka juga sejarah kelamku. Di labirin pohon ini aku
sering ‘dilepas’kan tanpa mengerti
maksudnya. Pada belokan-belokan tertentu aku dapat menemukan hadiah-hadiah
kesukaanku. Hingga hari- berikutnya aku dapat menghapal jalannya untuk menemukan
hadiah itu..
Tapi
di hari lain aku terbirit-birit lari
dari kejaran carnivore buatan yang mereka tempatkan di belokan-belokan
kejutan. Sialan. Beberapa kali disaat tersudut seperti itu aku mengelupas,
tanpa bisa ditahan. Karena aku berada dalam tekanan mental yang parah.
Bisa
jadi bila mereka mendapatkan anakku, maka anakku akan mengalami hal yang
sama denganku. Tes kesehatan rutin yang
menyebalkan, uji mental rutin yang melelahkan, uji IQ, Uji fisik. Lalu bila hal
ini sampai terjadi, bagaimana dengan perasaan Qonita, si gadis normal yang
lembut hatinya?
Di
ujung labirin jebakan ini dapat ditemui beberapa pintu. Tapi yang aku hapal
hanya pintu menuju hutan buatan. Begitu melihat pintunya, kutemukan asap
mendesak, menyelusup ke luar dari sana
melalui celah-celahnya. Apa separah itu kebakarannya?
Sekuat
tenaga kutendang pintunya, aku tak mau mengambil resiko dengan memegang tangkai
pintunya yang pasti panas. Begitu pintu terbuka, beberapa hewan berlari
linglung keluar, diiringi asap putih yang menyeruak memenuhi labirin. Kulihat
di atas hutan buatan, helikopter terbang diam menunggu orang-orang merayapi
tangga yang terjulur dari helikopter. Rupanya di atap hutan buatan juga
dirancang untuk post penyelamatan darurat seperti ini.
***
Aku melihat bayangan yang kucari.
Jan Rabiko menuntun Qonita. Dia dengan perkasa menaiki batang-batang pohon
besar menuju pintu atas hutan buatan. Jan beberapa kali membantu Qonita untuk
memanjati pohon-pohon. Luar biasa, Jan mampu membantu Qonita yang sedang dalam
keadaan hamil. Rupanya Jan telah
menghapal protocol keamanan tercepat seperti ini. Buktinya dia telah ada di sana . Jan tidak
menyelamatkan Qonita melalui jalan biasa, atau depan gedung. Tentu saja tidak!
Karena di sana
telah berkumpul para jurnalis yang lapar akan berita.
“Qonita!” Spontan aku memanggilnya.
“Yusuf?
Itu yusuf! Yusuf!” suara Qonita terdengar lemah, ragu, lalu yakin dan tegas.
Aku bisa merasakan nada gembira dalam teriakannya.
“Qonita!
Turunlah!” teriakku. Ingin sekali aku memanjangkan tangan ini dan merebut
Qonita dari rengkuhan lengan Jan Rabiko.
Tapi tak mungkin, karena kemampuanku
yang aneh cuma, mengelupas. Jarak kami terlalu jauh untuk aku gapai.
Seperti
dugaanku, Jan Rabiko mempercepat geraknya. Tak dapat kupercaya, kekuatan lelaki
ini. Bolehlah dia itu ilmuwan tampan, kaya, pintar, digilai banyak wanita,
penipu ulung tapi kenapa harus kuat juga? Bukankah tidak ada sempurna di dunia
ini?
“Qonita... turunlah, jauhilah Jan, dia akan
mengambil anakmu, DEMI NAFSUNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN!” aku bicara sambil
tetap bergerak. Telingaku bisa menangkap apa yang mereka bicarakan.
“Yusuf...
kau tahu aku hamil?”
“Ya,
dan banyak orang yang berkepentingan dengan janinmu, Qonita!”
“Pak
Jan? Benarkah?” suara Qonita lemah penuh keraguan.
“Dia
telah membunuh dokter Rut!” aku bingung memilih kata-kata darurat.
“Pak
Jan menyelamatkan aku dari dokter Rut, Yusuf. Pak Jan membunuhnya karena dokter
Rut tak mau melepaskan aku! Dia akan mengambil janinku!” terdengar suara Qonita
yang lemah. Tapi aku dapat mendengarnya, ya, ini karena daya dengarku lebih
istimewa disbanding manusia kebanyakan.
“Tidak,
kau salah! Dokter Rut mau menyelamatkanmu dari Jan!” uratleherku menegang.
“Jangan
percaya, Qonita! Mahluk jadi-jadian yang fisiknya gagal, pasti mentalnya juga
mengalami kerusakan.” Suara Jan berselang tarikan nafas
Oh dasar Jan keparat! Begitu pandainya dia
membolak balikan cerita.
“Yusuf
menderita kelainan mental?” Qonita begitu lemah.
“Yah
tentu saja. Penderitaannya sebagai bahan percobaan para ilmuwan adalah
penyebabnya.” Suara meyakinkan Jan
Rabiko membuat gigiku gemelutuk.
“A-aku
tak percaya...” suara Qonita semakin lemah.
“kenapa
tidak? Jika dia berniat menolongmu, kenapa dia harus berlama-lama di rumah
yatim piatu itu?” kini aroma hasutan suara Jan memaksa jiwa Qonita untuk
setuju.
“Qonita
jangan percaya... aku percaya, hatimu begitu dipenuhi kebaikan, dan Allah telah menunjukannya.” kucoba kugapai keraguan
Qonita
“Untuk
apa Yusuf di sana ?”
tanya Qonita.
“Haaa...
kau pikir buat apa? Bayangkan seumur hidup dia ada di hutan buatan tanpa
pasangan! Kau tahu artinya? Libidonya, naluri dasarnya mencari pembenaran.” Pak
Jan bicara sambil menyeringai. Sial mahluk iblis itu!
“Maksud
pak Jan, apa?” Qonita bersuara semakin lemah. Kuatkan dirimu Qonita! Aku akan
menyelamatkanmu!
“Dia
itu semacam pedofilia yang menemukan syurga di rumah Yatim itu.” Jan menaiki
cabang pohon yang lain.
“Ti-tidak!”
Qonita jelas sekali tak ingin percaya.
“Bohong.”
Suaraku menimpahi kebohonganngannya disela hingar bingar suara gemuruh dan
sirine, dan alarm keamanan.
“Yusuf...”
Qonita memanggilku.
“Cepat
lepaskan tanganmu! Loncatlah kemari!” pintaku segera dan siap menerima jatuh
tubuhnya.
“Hahaha...
kau masih percaya dia?” tawa iblis Jan hah ingin sekali aku menyumpal mulutnya
dengan gombal bau[1].
“Jadi
kenapa aku harus percaya padamu?”suara Qonita penuh ragu. Syukurlah, setidaknya
dia sedang berusaha berpikir dari beberapa sudut. Tuhan, ‘pandaikan’ Qonitaku
kali ini.
“Apa?
Apa kau meragukan aku? Setelah lamaranku? Harapanku atasmu? Perlindunganku
selama ini? Bantuanku terhadap rumah Yatim Ratija? Penolakanku terhadap Maya.
Apa kau belum mengerti juga? Semua itu tak akan aku lakukan jika aku tak punya
perasaan apapun padamu.” Suara Jan mengiringi geraknya yang lincah merayapi
tangkai, dan suluran pohon Liana. Sungguh aku takjub sekaligus iri atas
kemampuannya memanjat, mengingat dia itu manusia normal, bukan manusia buatan
sintesis sepertiku.
“Tanyakan
pada Jan, Kenapa Dia membawaku ke sini? Dan memaksakan kelahiran prematur bayi
kembarmu, Qonita!” teriakku dari bawah sini. Oh, Tuhan kemanakah kemampuan
memanjatku yang cepat itu?
“Karena
hanya klinik inilah yang paling canggih! Dan tentu saja karena aku mengutamakan
keselamatanmu.” Jawab Jan langsung tanpa menunggu mulut Qonita bersuara.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar